Friday, September 4, 2020

CERPEN: PUISI CINTA DI ATAS AWAN

 



Petang hari yang cerah...

Awan-awan putih berarak  di kebiruan langit, bagai gulungan ombak yang berkejaran di lautan lepas tanpa batas.

Angin semilir berhembus menyejukkan suasana yang masih terasa panas di bumi, seiring kebisingan yang tak pernah henti.

Riwan duduk sendirian di pinggir kebun yang bersebelahan dengan area persawahan yang luas terhampar. Sesekali pandangannya jatuh pada petak-petak sawah yang sebentar lagi akan panen padi, dan sesekali tengadah ke awan-awan yang bergumpal di angkasa biru. Ada semacam pesimisme menyelinap dalam sanubarinya yang terdalam, yakni soal feeling-nya pada Riyani.

“Hei...!” tiba-tiba seseorang mengagetkan Riwan dari belakang. Dari suaranya dia tahu siapa yang datang itu. 

“Datang ngagetin orang,” sungut Riwan pada Riki. “Ucapkan salam, dong!”

“Iya, sorry. Aku ulangi nih, assalamu ‘alaikum...” ujar Riki sedikit mangkel.

Wa ‘alaikum salam wa rohmatullohi wa barokatuh,” jawab Riwan sempurna.

“Lengkep banget jawabannya,” komen Riki sambil meletakkan pantatnya di sebelah kanan Riwan.

“Kamu ke sini mau ngebahas soal salam?” tanya Riwan merasa terusik.

“Ya bukan lah...” jawab Riki agak sewot. “Mau nemenin kamu supaya gak jadi patung sendirian...” 

Sesaat kemudian mereka berdua asyik menikmati kebisuan suasana di tepi sawah bersama angin yang masih berhembus dengan sejuk itu.

Tak berapa lama selanjutnya...

“Kayaknya ada yang dipikirin ya?” tanya Riki menebak-nebak.

“Tuh...!” Riwan menunjuk ke arah awan-awan yang bergelantungan di langit.

“Ooo...” Riki manggut-manggut diiringi senyum. “Yaa... Aku jadi ingat sama puisi kamu itu tempo hari. Yang... kalau gak salah judulnya...”   

 

Rasanya...

Terlalu jauh dirimu tuk ku gapai

bagai awan-awan yang berkejaran

di langit sana 

 

Bukan ku takut tuk mengejarmu

tapi ku tak ingin mengusik:

mengusik ketenangan dalam hatimu 

 

Karena ku sadar:

Kau anak beruang

Aku hanyalah rumput yang terinjak

 

Biarlah...

ku gantung cinta ini pada

awan-awan melayang

yang tak berujung...

 

“Iya, kan?” tandas Riki mengingatkan Riwan pada puisinya itu.

“Yeah...” angguk Riwan.

“Wan, puisi boleh digantung di atas awan, tapi cinta harus ril di bumi ini...”

“Udah pinter ya otak kamu sekarang...”

“Heh! Emangnya kemaren-kemaren aku bodoh apa?”

“Ya, kan, ngomong pinternya baru sekarang...”

“Aaah, kamu ini... Belom ngerasain kecebur di sawah ya...?”

“Udah ah ngelanturnya,” tukas Riwan. “Nah, sekarang apa ide kamu?”

“Kalo emang kamu naksir Riyani, ya tembak aja dia langsung, pake puisi kek, pake bunga kek, pake telpon kek, pake sms kek, asal jangan pake pistol senjata api aja. Enggak usah lama-lama lagi. Anak zaman sekarang kok penakut sih. Lagian, apa-apaan cinta mau digantung di atas awan...” jelas Riki gregetan.

“Kamu kan tau, Riyani itu anak konglomerat. Gak level lah sama aku.”

“Lantas, kenapa kamu jatuh cinta sama dia?”

“Yaa... nggak tau lah, itu urusan hati...”

“Nah, tuh kamu tau, bahwa cinta itu urusan hati. Bukan urusan harta, iya kan?”

“Iya sih...”

“Ketauan sekarang, yang bodoh itu kamu, bukan aku...”

“Oke-oke... Akan aku coba idemu itu.”

“Nah, itu baru cakep. Biarin... awan aja yang bergantungan di sana, kayak monyet-monyet di pohon...”

Riwan dan Riki meninggalkan pinggiran kebun itu saat matahari petang makin condong menuju senja temaram. Mereka akan bertemu lagi besok di sekolah.

 

***

 

Sudah empat hari ini, Riyani tidak nampak di sekolah tanpa ada beritanya.

Riwan merasa kehilangan. Entah kenapa tiba-tiba dia kehilangan gairah. Seperti ada yang hilang sebelah hatinya.

Kemudian Riki datang membawa berita-duka, membuat hati Riwan makin pecah berkeping-keping...

“Menurut keterangan yang aku dapet, katanya Riyani itu udah lama mengidap kanker hati,” jelas Riki dengan mimik sedih. “Dan hari kemaren dia mengalami koma, hingga akhirnya hari ini dia meninggal...”

Rasanya Riwan ingin berteriak-teriak menangis sejadi-jadinya. Dia ingin protes pada Tuhan. Kenapa orang yang sedang ditaksirnya dipanggil pulang ke akhirat yang tak akan pernah kembali lagi ke dunia ini. Betapa penyesalan dalam hatinya sangat berat.

“Kamu tahu gak, di mana Riyani dimakamkan?” tanya Riwan dengan air mata berlinangan.

“Di pemakaman umum. Kalo kamu ke sana, saat kamu lihat kuburan baru yang masih basah tanahnya di barisan sebelah kiri dari pintu masuk, itulah makamnya.”

Riwan segera meluncur ke pemakaman umum itu. Dia ingin menumpahkan seluruh isi hatinya yang selama ini dipendamnya terhadap Riyani. Tak mengapa Riyani tak bisa lagi mendengar dan menjawabnya. Setidaknya akan berkurang beban di hatinya...

Sampai di pemakaman, Riwan langsung menuju kuburan baru yang masih basah tanahnya itu. Dia menjatuhkan dua lututnya pada tanah kuburan itu. Sambil menahan rasa sedih diiringi tetesan air mata, bibirnya dengan bergetar menumpahkan kata-kata yang lirih...

“Riyani... Meskipun kau sudah gak ada lagi di hadapanku, rasanya ingin ku beri tahu padamu, bahwa selama ini aku menyukaimu. Dan baru saja aku akan menyatakan rasa suka itu padamu, kau malah sudah pergi jauh meninggalkan dunia ini...”

Riwan mengusap air matanya. Dan lanjutnya...

“Dan sekarang... aku benar-benar harus menggantung cinta ini pada awan-awan yang melayang itu. Aku benar-benar sudah gak dapat mengejarmu lagi, dan gak akan pernah bisa menggapaimu lagi...”

Tiba-tiba...

“Riwan...”

Riwan seperti mendengar ada orang memanggilnya. Tapi dia tak peduli, mungkin itu hanya halusinasinya saja.

“Riwan...”

Sepertinya Riwan mendengar lagi panggilan itu. Tapi dia masih tak peduli.

“Riwan...”

Untuk ketiga kalinya Riwan jadi penasaran dengan suara panggilan itu. Dan seandainya ada hantu di siang hari, dia tidak akan lari.

Saat Riwan membalikkan badannya ke belakang, betapa terkejutnya dia menatap sosok makhluk yang berdiri di hadapannya itu. Dia berusaha menguatkan kakinya agar tetap bisa bertahan berdiri, meskipun bayangan-bayangan tentang hantu di pikirannya terus menteror jiwanya...

“Apakah kamu hantu?” tanya Riwan dengan nafas menyesak di dada.

“Bukan,” jawab orang itu sambil tersenyum dan menggelengkan kepala.

“Bukankah kamu sudah mati?” tanya Riwan lagi.

“Belum,” jawab orang itu.

Riwan belum bisa percaya dengan apa yang dilihatnya itu...

“Hei, Riwan...!” teriak suara dari balik pagar kawat pemakaman, yang ternyata adalah Riki dari atas motor trail antiknya itu.

“Masihkah mau kamu gantung terus cintamu pada awan-awan di langit sana itu? Bersiap-siaplah...! Sebentar lagi awan-awan itu akan menjatuhkan hujan ke bumi. Menangislah buat kebahagiaanmu hari ini...!”

“Jadi semua ini adalah rekayasa kamu, genduuut...!” balas Riwan berteriak.

Riwan lalu mengambil tanah kuburan yang masih basah itu, dan menimpuki Riki bertubi-tubi.

“Tunggu-tunggu dulu, Wan!”

“Gak perlu lagi ada penjelasan!”

Riwan terus menimpuki Riki bertubi-tubi, hingga akhirnya Riki ngacir dengan trail antiknya itu.

“Janganlah begitu sama Riki,” ujar orang perempuan itu yang ternyata adalah Riyani.

“Maksudku, supaya dia segera pergi, gitu. Kan tinggal kita berduaan di sini...” jawab Riwan yang sudah percaya kalau sosok makhluk di depannya ini adalah benar Riyani. Terasa syahdu dalam hatinya memandang Riyani saat ini.

Ketika hujan mulai gerimis, Riwan dan Riyani meninggalkan pemakaman umum itu. Tak lama hujan turun dengan deras.

Di rumah masing-masing, kayaknya mereka berdua sama-sama lagi tersenyum membayangkan apa yang baru saja dialaminya itu...

 

*********

No comments:

Post a Comment