Saturday, September 5, 2020

CERPEN: JOMBLOINCESS PANGKAL PINANG

 


Sebuah grup di  WhatsApp bernama “Para Penulis”, disingkat GPP. Dalam grup tersebut, ada dua orang admin yang memegang pengaturan grup.

Keberadaan grup GPP ini, membuat penulis-penulis yang tinggalnya berjauhan bisa saling berkomunukasi, meskipun tak saling jumpa wajah.

Jayfa, sebagai salah seorang admin, mendata semua anggota grup, terutama: nama asli yang lengkap, kota tempat tinggal, dan aktifitas sehari-hari. Tujuannya ialah untuk memudahkan bahasa panggilan-diri dalam berkomunikasi agar pas penempatannya, dan suatu saat mungkin bisa saling kunjungan ke tempat tinggal masing-masing.

“Maaf ya, nama kamu dong, siapa nih?” tanya Jayfa via WA kepada salah seorang anggotanya yang hanya nomernya saja yang muncul di grup. “Supaya gampang manggilnya.”

“Siapa dl nih?” balas suara di seberang sana.

“Admin grup,” jelas Jayfa.

“Grup yg mn? Di WA aku banyak grup.”

“Boleh ikutan dong ke grup kamu itu.”

“Aku bukan adminnya.”

“Ya minta izin dong sm adminnya.”

“Hei...! Kok malah jd ngomongin masuk grup sih?”

“Oh iya, sorry...”

Btw, grup kamu yg mn?”

“Itu... Para Penulis.”

“Bilang dong dr awal.”

“Hehe... Kirain udh tau. Jd, siapa nih namanya?”

“Nama situ dl.”

“Aku Jayfa.”

“Aku Vani.”

“Berarti perempuan ya?”

“Ya iya lah. Kalo Vano tuh pasti laki-laki. Gmn sih?”

Sepertinya Vani sewot. Jayfa tersenyum di seberang sana. Ia tambah tahu karakter salah seorang anggota grupnya yang ini. Selanjutnya...

“Kota asal?” tanya Jayfa lagi.

“Pangkalpinang,” jawab Vani.

“Wah, jauh sekali ya. Riau bkn?”

“Bukan. Itu lho pulau yg dkt ama Palembang. Bangka belitung.”

“Sumatera Selatan ya?”

“Di sebelahnya. Provinsi Bangka Belitung.”

“O iya. Aktifitas Vani sebgi pelajar atau mahasiswa?”

“Pelajar.”

“Makasih ya.”

“Sama2.”

Jay, panggilan akrab Jayfa, lalu mengetik nama Vani. Tapi sebelum di-save,  ia merasa seperti ada yang kurang lengkap. Kembali ia kontek Vani...

“Namanya Vani aja?” tanya Jay penasaran.

“Iya,” balas Vani.

“Panjangnya, gitu.”

“Vaniiiii...!”

“Mksd aku, tambahannya, gitu.”

“Ya udh itu aja.”

“Oke...”

Jay tak mau lagi berlama-lama minta keterangan diri Vani itu. Sepertinya Vani ini sulit untuk dimintai data dirinya. Tinggal lima anggota lagi yang belum jelas namanya itu dalam grup. Jay menunda dulu pendataannya.

 

***

 

Jay menginginkan Grup Para Penulis-nya itu memiliki prestasi, bukan cuma sebagai tempat posting cuap-cuap semata, yang kesananya tak ada hasil yang lebih berguna lagi. Ia menginginkan grupnya itu menghasilkan sesuatu yang ril yang bisa dibanggakan dan memberikan peluang ke depannya.

Jay berencana untuk menerbitkan sebuah buku “kumpulan cerpen” yang isinya adalah cerpen-cerpen kiriman dari para anggota grupnya. Buku tersebut nantinya bisa dijadikan icon prestasi grup, dan di samping itu, bisa dijual untuk mendapatkan uang tambahan, khususnya bagi para anggotanya.

Setelah matang rencananya, Jay langsung melemparnya ke Grup Para Penulis  itu. Ia menunggu komen dari para anggotanya...

 

RENCANA MENERBITKAN

BUKU “KUMPULAN CERPEN”

khusus penulis2 yg ada di grup ini.

Gmn nih, siap gak...?!

 

Tidak semua anggota grup merespon “siap”. Lebih dari 60% mereka menyatakan “gak siap”, dengan beberapa alasan yang logis...

“Aku gak punya ide...”

“Aku kurang hobi mengarang...”

“Aku lebih suka menggambar...”

“Aku lagi sibuk sama pelajaran di sekolah...”

“Aku gimana nanti aja...”

“Aku mikir-mikir dulu...”

Hanya sekitar 40% anggota yang “siap” mengirimkan cerpennya, termasuk di antaranya Vani.

Jay yang akan bertindak menampung dan meng-edit cerpen-cerpen dari anggota grup itu. Kebetulan Jay adalah seorang yang sudah berpengalaman di dunia menulis. Buku-bukunya sudah lebih dari tujuh buah yang sudah terbit. Baginya, menangani urusan-urusan yang berkaitan dengan kepenulisan dan penerbitan buku, adalah merupakan hal yang sangat menyenangkan dalam hidupnya.

Kemudian, Jay menjelaskan lagi di grup, bahwa buku “kumpulan cerpen” itu minimal berisi 15 cerpen. Jadi, diminta per orangnya minimal mengirimkan 2 cerpen, lebih dari itu malah lebih baik. Adapun proses penerbitannya akan dikerjakan setelah minimal 15 cerpen terkumpul.

 

***

 

“Ikutan gak nih, Van, bikin cerpen utk buku ‘kumpulan cerpen’ itu?” tanya Jay via WA.

“Iya, ikut,” jawab Vani tak lama. “Tp temanya bullying. Kyknya jarang yg bahas soal ini. Boleh ga?”

“Gak apa. Bagus malah...”

“Oke...”

Selanjutnya, Vani tanya-tanya kepada Jay seputar masalah menulis. Mulai dari soal mengawali tulisan, penyusunan kata/kalimat, konsentrasi, ending cerita dan hal-hal lainnya. Jay menjelaskan poin-poin terpentingnya saja. Sebab, kalau panjang-panjang terlalu lama mengetiknya di hape.

Satu minggu kemudian, Vani sudah mengirimkan sebuah cerpen ke Jay lewat WA. Temanya tentang seorang gadis buta yang bertemu dengan seorang pemuda yang mengidap penyakit parah, yang oleh dokter di-vonis bahwa usianya tidak akan lama lagi berakhir. Sebelum pemuda itu meninggal, ia telah berpesan kepada dokter agar mendonorkan kedua matanya untuk gadis buta itu...

“Cukup bagus!” komen Jay dengan memberikan icon jempol. “Inspiratif, edukatif dan sensitif.”

“Makasih ya...” balas Vani senang.

“Tapi...” lanjut Jay tak jelas.

“Apanya, Jay?” tanya Vani sedikit ketir.

Ending-nya sedih ya...”

“Hehehe... Sengaja, sad ending. Sedihnya dpt ga sih?”

“Dpt tuh. Tp jangan terlalu sedih, kasian yg baca, kebawa sedih...”

“O gitu, hehe... Eh, lalu kpn terbitnya buku ‘kumpulan cerpen’ itu, Jay?”

“Tunggu aja ya. Sbb, targetnya 15 cerpen. Ini baru ada 10. Makanya, diusahakan 1 org 2 cerpen minimal, gitu. Nah, klo bisa, kamu usahakan 1 cerpen lg lah...”

“Mm... Oke, Jay, aku usahakan. Tp utk cerpen kedua nanti diusahakan happy ending...”

“Sip! Silahkan mulai nulis lg...”

Go on...!”

 

***

 

Vani mengirimkan sebuah gambar kartun animasi di WA-nya. Dua orang anak, satu perempuan dan satu laki-laki, tenggelam ke dalam air.

“Jay, aku ada ide nih dr foto ini,” komen Vani. “Tp aku bingung dr mn mulainya...”

“Kira2 judulnya apa?” tanya Jay.

Memory of Han River.”

“Simpel gambaran ceritanya kyk apa?”

“Jdi, itu anak perempuan sempat tenggelam di sungai, terus ada anak laki-laki yang melihat dan nolongin. Terus pas mereka udah dewasa, mereka ketemu lagi.”

“Terus?”

“Apanya?”

“Lanjutannya...”

“Kan aku bilang tadi, Jay, bingung mulainya dr mn...”

“Gini, Van... Kamu biarin dl ide-idenya bermunculan di otak kamu. Begitu ada yg pas di hati kamu, langsung tulis, mulai...! Gak usah pikir-pikir lg, sbb ide-ide lain akan berunculan terus, bisa-bisa kamu gak mulai-mulai!”

“Oke, Jay. Makasih ya.”

Tiga hari kemudian...

“Jay, aku udh mulai nulis ceritanya nih. Tp baru segini, udh mampet idenya,” tulis Vani di WA-nya.

Banyak wisatawan yang berkunjung ke Sungai Han sekedar melihat pemandangan dan melepas penat. Diantara mereka, sepasang kekasih memiliki kenangan masa lalu mereka di sungai ini. Mereka duduk bersebelahan, Yumi menyandarkan kepalanya di bahu sang kekasih.

"Bagaimana jika dulu kau tidak datang dan menyelamatkanku?" tanya Yumi pada kekasihnya namun tanpa berpandangan satu sama lain. Maniknya tetap memandang sungai yang ada didepannya.

"Mungkin kau tidak akan bersamaku saat ini, sayang. Atau aku akan menjadi kekasih orang lain?" jawab lelaki itu dan langsung mendapat jitakan dari Yumi.

"Sakit tau," lanjut lelaki itu sambil mengelus kepalanya yang mendapat jitakan.

"Biarin," jawab Yumi cuek.

Limabelas tahun yang…

 

“Yahhh... Gmn sih?” balas Jay. “Gak fokus ya?”

“Iya nih, lg badmood.”

Badmood mikirin apa tuh? Mslh si dia? Hehe...”

“Ga lah... Mslh sklh aja kok!”

“Ah, kyk nya impossible...”

“Aku jomblo kok.”

“Nah... kamu ketauan!”

“Aaah...! Kamu bikin aku keceplosan!”

“Mo diambil lg keceplosan-nya? Udh jatuh kok, percuma diambil jg...”

“Ya lalu mo apa klo aku emng jomblo?”

“Kan, siapa tau ada peluang...

Peluang ditolak, gitu?”

“Gak mngkin lah...”

“Sok PD!”

Perang Dunia?”

Percaya Diri!”

“Emng hrs PD dong! Hehe...”

“Udah ah, nglantur! Mendingan aku lanjutin tulisan...”

Vani menutup WA-nya. Mungkinkah dia kesal, marah atau malu? Jay pun tak mengirimkan lagi pesan. Entahlah... Hanya mereka yang tahu tentang perasaan yang berkecamuk dalam dada mereka  masing-masing. Tuhan pun mungkin tersenyum menyaksikan mereka berdua.

 

***

 

Siang yang cerah di tepi pantai...

Vani dan sembilan teman jomblonya (Sela, Syita, Anisah, Imel, Rita, Isti, Alfi, Ocha, Arfina) sudah berhamburan di tepi pantai siang itu.

Kota tempat tinggal Vani, Pangkalpinang, adalah kota yang letaknya tidak jauh dari laut. Diapit oleh dua kota kecamatan, di sebelah selatan ada Pangkalbalam dan sebelah utara Baturusa.

Mumpung masih libur sekolah, Vani dan teman-temannya ingin melepaskan rasa kangennya untuk duduk-duduk santai, bercengkerama, tawa-ria, selfie, foto-foto bareng, mengusir rasa jenuh dan sumpek... di rumah lesehan panggung tepi pantai itu.

Sepasang mata milik seorang lelaki dari tadi serius memperhatikan gerak-gerik sepuluh gadis jomblo itu dari kejauhan. Setelah menemukan sesuatu yang dicarinya, ia mencoba menghampiri Vani dan teman-temannya yang sedang asyik nangkring di rumah lesehan panggung itu...

“Permisi, boleh ikutan?” ucap lelaki asing itu diiringi senyum bersahabat.

Vani dan teman-temannya serentak menoleh ke arah suara lelaki itu. Mereka menatapnya penuh tanda tanya...

“Siapa dia?” bisik Anisah.

“Gak tau tuh!” timpal Imel.

“Mau apa dia?” tanya Isti.

Vani lalu mendekati lelaki asing itu untuk memastikan siapa dia dan mau apa minta ikutan...

“Mas ini siapa ya?” tanya Vani sambil mengernyitkan alisnya.

“Ya sama seperti kalian, pendatang,” jawab lelaki itu dengan ramah.

“Maaf ya, mas, kami di sini perempuan semua,” jelas Vani meminta pengertian.

“Tapi ini kan tempat umum...” jawab lelaki itu seakan tak mau cari tempat lain.

“Iya, kami tau. Tapi kami lebih dulu ada di sininya...”

“O gitu ya...”

Kemudian lelaki itu membuka hapenya. Nampak ia sedang mengetik di layar hapenya...

Hape Vani pun memberi sinyal bunyi. Segera ia membukanya. Ada satu pesan WA yang masuk...

“Halo, Vani... Skrg aku udah ada di hadapanmu...”

Vani tak menjawab pesan WA  itu. Segera ia menutup hapenya. Pandangan matanya fokus mencermati wajah lelaki asing di hadapannya. Sementara lelaki itu masih mengukir senyum di bibirnya...

Sesaat saling pandang. Tak ada kata terucap...

“Aku nganggap foto ini mirip kamu,” ujar lelaki itu sambil memperlihatkan sebuah foto ke hadapan Vani.

Vani sangat kenal dengan foto itu, karena itu memang fotonya sendiri yang sekarang malah sedang dipajang di profil WA-nya. Yakni, sebuah foto di mana dia sedang asyik nangkring sendirian di rumah panggung tepi pantai itu (sekitar 3 bulan yang lalu) yang sekarang sedang dikunjunginya lagi ini. Jay sempat mengomentari fotonya waktu itu...

“Wah... Enak nih, Van, bikin cerpen sambil nangkring. Kamu itu ya...?” tanya Jay waktu itu.

“Hehehe... Iya tuh. Udah bbrapa bln yang lalu kok. Aku dijadiin objek foto sm org2 yg berkunjung...,” balas Vani.

“Jd model donk...”

“Enggak juga sih. Itu kebetulan aja. Lagian, aku orangnya nggak pede...”

“Yah, knp?”

“Gpp sih...”

Dan... mungkinkah lelaki yang membawa foto Vani itu adalah Jay, yang sekarang sedang berada di hadapan Vani ini...?

“Kamu... Jay? Jayfa...?” tanya Vani ragu-ragu, karena dia belum pernah bertemu dengan laki-laki itu.

“Iyah...” angguk laki-laki itu mengakui namanya sambil mengerjapkan alisnya ke atas.

“Oo... Ini orangnya Jay sang editor itu... Kirain...” seloroh Vani mulai keluar candanya.

“Kirain apa?” balas Jay biasa saja.

“Ganteng! Ternyata... emang ganteng! Hehehe...!”

“Bisa aja kamu, Van. Bahasa kamu seperti di WA.”

“Hehehe. Oke, oke... Sini, Jay!”

Vani kemudian mengajak Jay untuk bergabung bareng. Teman-teman Vani memperkenalkan diri satu per satu pada Jay. Jadi sebelas orang jumlah mereka.

“Maaf ya, kehadiran aku mungkin bikin acara kalian jadi terganggu nih...” ucap Jay santun setelah duduk bareng.

“Oo... Gak apa-apa kok!” jawab Isti yang sedikit cempreng.

“Kalem aja kalee...” timpal Imel sambil melirik Isti.

“Eh-hem...” suara Sela ikutan.

“Apaan sih?” sungut Anisah.

“Gak tau, atau pura-pura blom tau...?” ledek Syita sambil menyikut Anisah.

Sementara Rita, Alfi, Ocha dan Arfina cuek-cuek saja. Mereka sibuk dengan hape masing-masing.

Vani senyum-senyum melihat kelakuan teman-temannya setelah kehadiran Jay. Sementara Jay santai-santai saja menikmati suasana yang ada.

“Eh, Jay, kok kamu bisa tau ya aku ada di sini?” tanya Vani kemudian.

“Mau tau?” jawab Jay bikin penasaran.

“Iya sih...”

“Lihat nih...!”

Jay memperlihatkan layar hapenya ke hadapan Vani. Lalu Vani membaca tulisan yang merupakan status miliknya di WA itu...

Halo jombloincess...!

Besok otw pantai, biasa!

Kompak yuk!

#kangenNangkring!

“Eh, nekad kamu ya,” ujar Vani sambil mengangkat tangannya mau nonjok Jay, tapi dia sadar lalu mengurungkannya karena baru kenal Jay. “Gimana kalo gak ketemu...?”

“Kan ada Mbah Google yang nunjukin. Selama hape kau on, aku bisa mengintai kamu lewat detecting satellite network (DSN) yang dikrimkan oleh si mbah itu,” jelas Jay.

“Sengaja kamu dateng ke kotaku?”

“Iyah. Sudah dari kemaren aku ada di kotamu. Sengaja pengen tau sekilas tentang kota Pangkalpinang untuk bahan setting cerita aku yang baru nanti...”

“Apa judulnya tuh?”

“Nanti aja lihatnya di buku ‘kumpulan cerpen’ Grup Para Penulis itu ya...”

“Ih, pelit kamu!”

“Kan supaya jadi penasaran. Tapi, ngomong-ngomong, dalam cerita itu melibatkan diri kamu, bahkan kamu tokoh utamanya. Kamu marah gak?”

“Lho, kok aku sih?”

“Kan setting-nya di Pangkalpinang, Van.”

“Emang gak ada yang lain apa?”

“Aku menulis berdasarkan feeling, Van. Kalo feeling-ku kuatnya pada kamu, ya kamulah yang aku pilih, walaupun ada yang lain. Keberatan gak nih?”

“Oke lah enggak kok, selama itu baik-baik aja.”

“Beres ya...”

Teman-teman Vani sibuk dengan hapenya sendiri-sendiri. Sehingga tidak menyimak jelas obrolan Vani dengan Jay itu. Mereka begitu asyik berselancar di dunia maya, hingga kurang peduli lagi dengan keadaan sekitarnya...

Saat matahari mendekati garis sunset-nya, mereka pulang barengan. Sementara Jay kemudian memisahkan arah menuju hotel tempat menginapnya.

 

Malam harinya...

“Hai, Vani... Msh melek nih?” tanya Jay di WA-nya.

“Msh sore kok, masa udh merem sih?” balas Vani sedikit ketus.

“Lg istirahat ya?”

“Nonton tivi.”

“Gak siap-siap bwt sekolah?”

“Santai dl. Msh seminggu lg kok...”

Tiba-tiba Jay merasa kehabisan kata-kata. Umpan apalagi yang harus diberikan kepada Vani agar dia bertahan on. Tapi, pucuk dicita ulam pun tiba...

“Eh, btw, kpn kamu pulang, Jay?” tanya Vani kemudian.

“Sepertinya aku bakal kangen nih ninggalin kota ini...” ujar Jay mulai menyerempet.

“Ya dtg aja lg, klo emng kangen sih.”

“Itu... kalo msh ada yg jomblo...”

“Yg jomblo bnyk kok di sini, gak bakal habis.”

“Mksd aku... dirimu!”

Deppp !!!

Jantung Vani berdebar jadi lebih keras. Sebenarnya, di balik sikap ketus dan juteknya itu, ada rasa suka pada Jay sejak awal-awal chat-nya di WA itu. Apalagi setelah bertemu tadi siang di pantai, membuat rasa sukanya makin tumbuh dan berkembang.

 

Esok siang harinya...

Jay sudah berada di bandara Depati Amir. Sengaja ia tak memberitahukan Vani, sebab ia tak ingin melihat wajah Vani memerah dan berdiri sendirian menatap kepergiannya. Sebelum pesawat membawanya terbang pulang, Jay mengirimkan pesan WA ke Vani...

I love you, jombloincess Pangkalpinang! I will be back to meet you again. God will...”

Love you too, Jay. I will always waiting for you...”

Secara reflek, Vani menjawab ungkapan love dari Jay. Meluncur begitu saja. Karena ia pun sudah menyimpan rasa itu. Cinta!

Dan... serasa ada yang hilang dari ruang hati Vani. Kehilangan Jay!

 

Setahun kemudian...

Jay kembali terbang ke Pangkalpinang. Bertemu dengan Vani. Mengukir janji yang lebih serius lagi. Sambil bernostalgia nangkring di rumah lesehan tepi pantai itu...

 

*****

 Dipetik dari buku kumpulan cerpen: PUISI CINTA DI LANGIT PARIS

Karya: Sabda Al-Qushwa, dkk.

Penerbit: Rasibook

Info Buku: 089-777-45-997

 

No comments:

Post a Comment