Saturday, December 5, 2015

JURUS SENYUM






Satu: Senyum Pertemuan
Bila anda datang ke sebuah rumah, toko, kantor atau tempat-tempa lainnya, yang tujuannya untuk menemui orang-orang tertentu, lantas pikiran apa yang terlintas di benak anda? Apakah anda yakin bisa diterima dengan baik oleh orang-orang yag anda temui itu?
“Saya tentu diterima dengan baik. Saya yakin itu!”
“Saya belum tahu, gimana aja nanti...”

Jawaban yang pertama: ialah jawaban orang yang sombong, over confidence, terlalu pede, tanpa memperhatikan apa yang sudah dipersiapkannya.
Adapun jawaban kedua: ialah jawaban orang yang tidak punya keyakinan, tanpa mempersiapkan diri untuk menghadapinya.

Dari dua jawaban itu, saya menggambarkannya: ibarat tentara yang hendak berperang tapi tidak bawa senjata. Memang sih, keyakinan dan keberanian yang sangat penting. Tapi kalau tidak didukung oleh persiapan yang matang, strategi yang jitu dan senjata yang ampuh, anda diramalkan pasti kalah ya. Setuju?

Oke... Sekarang anda bawa kaca cermin gak? Atau hape yang aktif kameranya?
Nah, coba anda arahkan cermin atau kamera hape itu ke wajah anda. Coba tersenyum! Perhatikan senyum anda itu dengan penuh perasaan. Bagaimana, apakah anda merasa senang atau sumpek?
Ya, seperti itulah yang dirasakan oleh orang lain saat bertemu dengan anda.
Jadi, kalau anda datang membawa senyum, maka orang lainpun akan tersenyum, dan ini menjadi awal yang baik untuk langkah selanjutnya.
Tapi..., kalau anda datang dengan wajah yang asem, cemberut, kusut, sinis, garang, tanpa senyum sedikitpun, anda sendiri yakin, bahwa tak akan ada seorangpun yang mau menerima anda secara baik. Apalagi anda datang hendak menawarkan barang dagangan, pastilah barang dagangan itu akan anda bawa pulang lagi.
Siapa yang mau membeli dagangan dari penjual yang wajahnya sinis dan cemberut aja?
Ngeliatnya aja udah sebel, ya?
Penjual yang seperti itu bisa jadi gatot kaca, alias: gagal total kacau balau!

Nah, ngaca lagi, ya?
Jadi?
Tersenyumlah... Be smile...!

Itulah yang kerap saya lakukan sebagai awal komunikasi saat saya bertemu dengan orang-orang: di toko, di kantor, di pasar, di instansi atau di tempat-tempat yang sudah menjadi target kunjungan saya. Dan saya tidak mengharapkan balasan senyuman dari mereka. Sebab pikir saya, kalau ingin dibaikin oleh orang lain, maka berusahalah berbuat baik lebih dulu.

“Maka berlomba-lombalah berbuat baik...!” (QS. 2 : 148).
“... Mereka itu termasuk orang-orang yang sholeh.” (QS. 3 : 114).

Dan, saya sering menemukan orang yang cuek, acuh, biasa aja, gak mau senyum, padahal saya sudah melempar senyum ke arahnya. Saya juga cuek, acuh, gak peduli... Maksudnya, maju terus, pantang mundur.
Sebagai seorang sales dari Divisi Marketing, saya tidak pesimis dengan sikap cuek atau sumpek seperti itu. Saya menganggap itu hal yang sepele. Kecuali kalau ada yang berteriak:
Gog, gog, gog...!
Baru saya mundur teratur. Bukan takut! Apa yang bisa saya tawarkan kepadanya?

Tapi, kalau dibanding-bandingkan, masih lebih banyak orang atau konsumen yang menerima saya dengan baik. Walaupun, tidak semua orang yang baik itu mau membeli barang/produk  yang saya tawarkan. Ini hanya menyangkut soal waktu saja. Satu sampai tiga kali kunjungan masih juga belum mau beli produk, saya anggap wajar. Mungkin mereka belum sempat, belum tertarik atau belum menyediakan dana untuk pembayarannya.
Berprasangka baik sajalah. .
Dan jangan bosan mengunjunginya jika memang ada peluang-peluang strategis pada konsumen tersebut. Juga atur trik-trik baru lainnya sehingga anda bisa memperkirakan keberhasilannya.

Kembali kita... tersenyum.
Ada apa dengan senyum?

·         Senyum adalah bagian dari sedekah. Sabda Nabi Muhammad saw.: “Tersenyum di hadapan saudaramu adalah sedekah.” Berarti, senyum itu ada pahalanya. Dan pahala senyum sama dengan sedekah. Adapun pahala sedekah ialah ada yang: 2 kali lipat, atau 10 kali lipat, atau 700 kali lipat, atau ghoiru mamnun (tanpa batas).
·         Senyum menumbuhkan rasa simpati. Sebab, senyum adalah awal yang baik dan bisa melancarkan urusan-urusan selanjutnya.
·         Senyum menimbulkan prasangka-baik (husnuzh-zhan). Sebab, senyum bisa menghilangkan rasa benci dan curiga.
·         Senyum memunculkan optimisme. Saat konsumen tersenyum pada anda, ada harapan bahwa produk anda akan dibelinya.

Catatan: Jangan senyum-senyum sendirian, nanti ada orang yang tahu anda dianggapnya “dahi telunjuk miring”, alias stres plus gila! Hahahah...

Dua: Senyum Menagih Hutang
Teman saya bilang: “Ente sih senyum terus, biarpun hutang enggak dibayar-bayar juga...”
Jawab saya santai saja: “Kalau saya cemberutin atau sinis, nanti dia malah sulit saya temuin. Jadi lebih tidak jelas pembayarannya...”

Ya, dengan saya tetap berlaku baik, tetap tersenyum, secara psikologis saya mengharapkan si empunya hutang itu tetap bertanggung-jawab untuk melunasi hutangnya.
Apalagi untuk orang yang bandel dalam membayar hutangnya, saya benar-benar harus sabar dan tetap tersenyum. Saya berprinsip, lebih baik mengulur-ulur waktu yang akhirnya lunas juga, dari pada dia kabur dan menghilang untuk selama-lamanya.
Dalam masalah hutang itu, anda harus benar-benar fleksibel dalam mengadapinya. Jangan mudah mengambil tindakan kasar atau ultimatif, selama dia masih punya konsekwensi dalam membayar. Laksana penggembala, angon aja terus. Biarkan dia membayar sebisa yang dia mampu. Klep! Setelah lunas, baru anda ambil strategi baru dalam menghadapinya. Terserah anda. Atau ambil satu dari 3 (tiga)pilihan ini:
§  Kirim lagi barang (setelah ada perjanjian baru).
§  Tunda dulu (dengan alasan, stok barang lagi kurang).
§  Stop selama-lamanya (karena setelah dianalisis, di bawah 50% manfaatnya).

Atau, sebelum anda mengambil salah satu poin di atas, anda hitung dulu sisi negatifnya konsumen bermasalah tersebut. Misalnya, yang paling parah ialah sering mengulur-ulur waktu hingga kelewat jauh dari batas yang sudah ditentukan, seolah-olah orang lain (sales) tidak punya beban pembayaran kepada perusahaan. Kalau masalahnya cuma sebatas ini, sebaiknya anda ambil pilihan yang kedua di atas itu. Kirim dia barang sewaktu-waktu. Maksudnya, jangan sampai putus kerjasama dengannya. Sebab, dia masih bisa anda manfaatkan sebagai “TPA” (tempat pembuangan akhir) dari barang-barang yang lambat kelakuannya atau dari stok yang berlebihan (dari pada numpuk di gudang). Atau anda punya solusi lebih jitu lagi?


Tiga: Senyum Dalam Persaingan
Saya sering mengalami hal seperti ini:
Saya sudah memberikan presentasi atau penjelasan-penjelasan tentang kriteria produk dan masa depannya di pasaran. Tapi kemudian si konsumen malah mengambil barangnya dari orang (sales marketing) yang lain. Setelah saya datang, dia bilang: “Wah, si mas terlambat sih...”
Saya tetap tersenyum, walaupun dalam hati ngedumel: “Udah tahu saya yang duluan, eh malah ngambil barangnya ke orang lain...”
Ini wajar. Siapapun pasti kecewa, kan? Tapi mau bilang apalagi? Nggak usah dikritisi lagi!
Saya sadari, itulah persaingan. Saya harus tegar dan lapang dada. Dan saya harus tetap optimis, bahwa Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik. (Ingat, segitiga kepastian).
Lalu saya bilang kepada konsumen itu: “Enggak apa-apa, pak. Dengan siapapun, sama aja. Mungkin itu bukan milik saya. Malah saya minta maaf, sering mengganggu kesibukan bapak...”
Jawabnya: “Ooh, biasa aja lah. Cuma di sini gak ada suguhannya...”
“Aah, gak penting itu, pak. Ngobrol aja udah kenyang...”
“Hahahah...!”

Suasana seperti itu akrab tak kalah pentingnya. Seolah-olah kita berada dalam satu ikatan keluarga. Dalam jangka tak terlalu panjang, pasti dia membutuhkan barang-barang yang pernah saya tawarkan itu.

Itulah yang saya namakan... “Segitiga Kepastian”. Artinya: di antara anda dan konsumen ada Tuhan. Dengan izin-Nya, suatu saat pasti anda dan konsumen akan terjalin saling membutuhkan. Ini tergantung usaha dan keyakinan anda!
(Untuk melengkapi "SENYUM", baca juga : "5 HIASAN DIRI TERINDAH DALAM HIDUP" di : sabdaalqushwa.blogspot.com).

>>>>>>>>>>>>>> Lanjut ke : JURUS 3

*****


No comments:

Post a Comment