Satu: Senyum Pertemuan
Bila anda datang ke sebuah rumah, toko, kantor atau
tempat-tempa lainnya, yang tujuannya untuk menemui orang-orang tertentu, lantas
pikiran apa yang terlintas di benak anda? Apakah anda yakin bisa diterima
dengan baik oleh orang-orang yag anda temui itu?
“Saya tentu
diterima dengan baik. Saya yakin itu!”
“Saya belum
tahu, gimana aja nanti...”
Jawaban yang pertama: ialah jawaban orang yang sombong, over
confidence, terlalu pede, tanpa memperhatikan apa yang sudah
dipersiapkannya.
Adapun jawaban kedua: ialah jawaban orang yang tidak punya
keyakinan, tanpa mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
Dari dua jawaban itu, saya menggambarkannya: ibarat tentara yang hendak berperang
tapi tidak bawa senjata. Memang sih, keyakinan
dan keberanian yang sangat penting. Tapi
kalau tidak didukung oleh persiapan yang matang,
strategi yang jitu dan senjata
yang ampuh, anda diramalkan pasti kalah ya. Setuju?
Oke... Sekarang anda bawa kaca cermin gak? Atau hape
yang aktif kameranya?
Nah, coba anda arahkan cermin atau kamera hape itu ke
wajah anda. Coba tersenyum! Perhatikan senyum anda itu dengan penuh perasaan. Bagaimana, apakah anda merasa senang atau sumpek?
Ya, seperti itulah yang dirasakan oleh orang lain saat
bertemu dengan anda.
Jadi, kalau anda datang membawa senyum, maka orang
lainpun akan tersenyum, dan ini menjadi awal yang baik untuk langkah selanjutnya.
Tapi..., kalau anda datang dengan wajah yang asem, cemberut, kusut, sinis, garang, tanpa senyum sedikitpun,
anda sendiri yakin, bahwa tak akan ada seorangpun yang mau menerima anda secara
baik. Apalagi anda datang hendak menawarkan barang dagangan, pastilah barang
dagangan itu akan anda bawa pulang lagi.
Siapa yang mau membeli dagangan dari penjual yang
wajahnya sinis dan cemberut aja?
Ngeliatnya aja udah sebel, ya?
Penjual yang seperti itu bisa jadi gatot kaca, alias: gagal total kacau balau!
Nah, ngaca lagi, ya?
Jadi?
Tersenyumlah...
Be smile...!
Itulah yang kerap saya lakukan sebagai awal komunikasi
saat saya bertemu dengan orang-orang: di toko, di kantor, di pasar, di instansi
atau di tempat-tempat yang sudah menjadi target kunjungan saya. Dan saya tidak
mengharapkan balasan senyuman dari mereka. Sebab pikir saya, kalau ingin
dibaikin oleh orang lain, maka berusahalah berbuat baik lebih dulu.
“Maka
berlomba-lombalah berbuat baik...!” (QS. 2 : 148).
“... Mereka
itu termasuk orang-orang yang sholeh.” (QS. 3 : 114).
Dan, saya sering menemukan orang yang cuek, acuh, biasa
aja, gak mau senyum, padahal saya sudah melempar senyum ke arahnya. Saya juga
cuek, acuh, gak peduli... Maksudnya, maju terus, pantang mundur.
Sebagai seorang sales dari Divisi Marketing, saya
tidak pesimis dengan sikap cuek atau sumpek seperti itu. Saya menganggap itu
hal yang sepele. Kecuali kalau ada yang berteriak:
“Gog, gog, gog...!”
Baru saya mundur teratur. Bukan takut! Apa yang bisa
saya tawarkan kepadanya?
Tapi, kalau dibanding-bandingkan, masih lebih banyak
orang atau konsumen yang menerima saya dengan baik. Walaupun, tidak semua orang
yang baik itu mau membeli barang/produk
yang saya tawarkan. Ini hanya menyangkut soal waktu saja. Satu sampai
tiga kali kunjungan masih juga belum mau beli produk, saya anggap wajar.
Mungkin mereka belum sempat, belum tertarik atau belum menyediakan dana untuk
pembayarannya.
Berprasangka baik sajalah. .
Dan jangan bosan mengunjunginya jika memang ada
peluang-peluang strategis pada konsumen tersebut. Juga atur trik-trik baru
lainnya sehingga anda bisa memperkirakan keberhasilannya.
Kembali kita... tersenyum.
Ada apa dengan senyum?
·
Senyum adalah bagian dari sedekah. Sabda Nabi Muhammad saw.: “Tersenyum di hadapan saudaramu adalah
sedekah.” Berarti, senyum itu ada pahalanya. Dan pahala senyum sama dengan
sedekah. Adapun pahala sedekah ialah ada yang: 2 kali lipat, atau 10 kali
lipat, atau 700 kali lipat, atau ghoiru
mamnun (tanpa batas).
·
Senyum menumbuhkan rasa simpati. Sebab, senyum adalah awal yang baik
dan bisa melancarkan urusan-urusan selanjutnya.
·
Senyum menimbulkan prasangka-baik (husnuzh-zhan).
Sebab, senyum bisa menghilangkan rasa benci dan curiga.
·
Senyum memunculkan optimisme. Saat konsumen tersenyum pada anda, ada
harapan bahwa produk anda akan dibelinya.
Catatan: Jangan senyum-senyum sendirian, nanti ada
orang yang tahu anda dianggapnya “dahi telunjuk miring”, alias stres plus gila!
Hahahah...
Dua: Senyum Menagih Hutang
Teman saya bilang: “Ente sih senyum terus, biarpun hutang enggak dibayar-bayar juga...”
Jawab saya santai saja: “Kalau saya cemberutin atau sinis, nanti dia malah sulit saya temuin.
Jadi lebih tidak jelas pembayarannya...”
Ya, dengan saya tetap berlaku baik, tetap tersenyum,
secara psikologis saya mengharapkan si empunya hutang itu tetap
bertanggung-jawab untuk melunasi hutangnya.
Apalagi
untuk orang yang bandel dalam membayar hutangnya, saya benar-benar harus sabar
dan tetap tersenyum. Saya berprinsip, lebih baik mengulur-ulur waktu yang
akhirnya lunas juga, dari pada dia kabur dan menghilang untuk selama-lamanya.
Dalam masalah hutang itu, anda harus benar-benar
fleksibel dalam mengadapinya. Jangan mudah mengambil tindakan kasar atau
ultimatif, selama dia masih punya konsekwensi dalam membayar. Laksana
penggembala, angon aja terus. Biarkan dia membayar sebisa yang dia mampu. Klep!
Setelah lunas, baru anda ambil strategi baru dalam menghadapinya. Terserah
anda. Atau ambil satu dari 3 (tiga)pilihan ini:
§
Kirim lagi barang (setelah ada perjanjian baru).
§
Tunda dulu (dengan alasan, stok barang lagi kurang).
§
Stop selama-lamanya (karena setelah dianalisis, di bawah 50%
manfaatnya).
Atau, sebelum anda mengambil salah satu poin di atas,
anda hitung dulu sisi negatifnya konsumen bermasalah tersebut. Misalnya, yang
paling parah ialah sering mengulur-ulur waktu hingga kelewat jauh dari batas
yang sudah ditentukan, seolah-olah orang lain (sales) tidak punya beban
pembayaran kepada perusahaan. Kalau masalahnya cuma sebatas ini, sebaiknya anda
ambil pilihan yang kedua di atas itu. Kirim dia barang sewaktu-waktu.
Maksudnya, jangan sampai putus kerjasama dengannya. Sebab, dia masih bisa anda
manfaatkan sebagai “TPA”
(tempat pembuangan akhir) dari barang-barang yang lambat kelakuannya atau dari
stok yang berlebihan (dari pada numpuk di gudang). Atau anda punya solusi lebih
jitu lagi?
Tiga: Senyum Dalam Persaingan
Saya sering mengalami hal seperti ini:
Saya sudah memberikan presentasi atau
penjelasan-penjelasan tentang kriteria produk dan masa depannya di pasaran.
Tapi kemudian si konsumen malah mengambil barangnya dari orang (sales marketing)
yang lain. Setelah saya datang, dia bilang: “Wah, si mas terlambat sih...”
Saya tetap tersenyum, walaupun dalam hati ngedumel: “Udah tahu saya yang duluan, eh malah
ngambil barangnya ke orang lain...”
Ini wajar. Siapapun pasti kecewa, kan? Tapi mau bilang
apalagi? Nggak usah dikritisi lagi!
Saya sadari, itulah persaingan. Saya harus tegar dan
lapang dada. Dan saya harus tetap optimis, bahwa Tuhan akan menggantinya dengan
yang lebih baik. (Ingat, segitiga kepastian).
Lalu saya bilang kepada konsumen itu: “Enggak apa-apa,
pak. Dengan siapapun, sama aja. Mungkin itu bukan milik saya. Malah saya minta
maaf, sering mengganggu kesibukan bapak...”
Jawabnya: “Ooh, biasa aja lah. Cuma di sini gak ada
suguhannya...”
“Aah, gak penting itu, pak. Ngobrol aja udah kenyang...”
“Hahahah...!”
Suasana seperti itu akrab tak kalah pentingnya.
Seolah-olah kita berada dalam satu ikatan keluarga. Dalam jangka tak terlalu
panjang, pasti dia membutuhkan barang-barang yang pernah saya tawarkan itu.
Itulah yang saya namakan... “Segitiga Kepastian”. Artinya: di antara anda dan
konsumen ada Tuhan. Dengan izin-Nya, suatu saat pasti anda dan konsumen akan
terjalin saling membutuhkan. Ini tergantung usaha dan keyakinan anda!
(Untuk melengkapi "SENYUM", baca juga : "5 HIASAN DIRI TERINDAH DALAM HIDUP" di : sabdaalqushwa.blogspot.com).
>>>>>>>>>>>>>> Lanjut ke : JURUS 3
*****
No comments:
Post a Comment