Tuesday, August 25, 2020

CERPEN: "PUISI CINTA DI LANGIT PARIS"





( CERPEN UNGGULAN DALAM BUKU KUMPULAN CERPEN:

"PUISI CINTA DI LANGIT PARIS"

Karya: Sabda Al-Qushwa, dkk. )

 

Ku akan selalu menunggumu di bawah             kebiruan langit

di saksikan awan-awan yang berarak bersama Eiffel yang kokoh berdiri di sepanjang waktu

Kutulis puisi ini sebagai ungkapan                    keyakinanku bahwa kau pasti datang                membawa sekuntum bunga menawan               sebagai persembahan untukku

Kan kugantung untaian puisi cinta ini pada salah satu jemari menara Eiffel di bawah langit kota Paris hingga kau datang menemuiku....


Nyaris setiap kali ingat, Elyza selalu mengunjungi menara Eiffel yang tak jauh dari kota tempat tinggalnya. Seperti sudah terpateri janji bahwa ia akan bertemu dengan Rama di bawah bayangan menara Eiffel itu. Padahal, antara ia dan Rama tak ada kesepakatan apa-apa di saat hari perpisahan itu. Yang ada hanya ucapan “say good bye” diiringi tatapan sedih dan senyum hampa, sebuah lukisan dari hati yang getir menghadapi perpisahan itu.

Ya, “perpisahan yang getir”... Tapi, apa boleh buat, itulah memang yang harus terjadi...

Yah...  Sebab, masa kerja papanya Elyza sebagai konsultan negara sudah berakhir. Berdasarkan kesepakatan keluarga, mereka harus meninggalkan Jakarta dan pulang ke negeri asal mereka, Prancis.

Kini... tinggallah kenangan indah bersama Rama menjadi bayangan yang selalu mengusik dalam benak dan ruang hati Elyza...

Mungkinkah akan hadir hari pertemuan yang didamba-dambakannya itu sehingga berakhir saat-saat penantian yang melelahkan ini...?

 

***

 

Satu tahun berlalu sudah...

Sudah beberapa kali Elyza menghubungi Rama via telepon, whatsapp, messenger, sms, email dan akun medsos lainnya.

I am missing you always and waiting for you with Eiffel here... (Aku selalu merindukanmu dan menunggumu bersama Eiffel di sini...).”

Tak ada satu pun jawaban yang diterimanya dari Rama. Padahal berdasarkan tanda-tandanya bahwa Rama melihat dan membacanya.

Is it possible Rama had forgotten me...? (Mungkinkah Rama sudah melupakan aku...?),” bisik Elyza hampa.

Tapi... Elyza masih selalu setia berdiri di bawah bayangan menara Eiffel menunggunya. Entah sampai kapan. Ia tetap berharap, dan keyakinannya masih menempel kuat dalam batinnya.

I always feel you here, Ram... (Aku selalu merasa kau ada di sini, Ram...),” desisnya.

Tak seorang pun dari teman-teman Prancis-nya yang tahu bahwa ia sedang merindukan seseorang dan menunggu kehadirannya di bawah menara kebanggaan masyarakat Prancis itu. Andai mereka tahu, Elyza sudah menduga cuap-cuap yang bakal meluncur dari bibir mereka...

Are you oke... ? (Kamu baik-baik saja...?).”

Please, forget him... (Sudahlah, lupakan dia...).”

He may have forget you... (Dia mungkin sudah melupakanmu...).”

Looking for a change him... (Cari ganti dia).”

Here much better than him, sure... (Di sini banyak yang lebih baik dari dia, pasti...).”

Elyza tak peduli dengan semua itu...

 

***

 

Siang yang panas...

Elyza berteduh di bawah pohon yang rindang, tak jauh dari menara Eiffel yang berdiri tegak menjulang ke langit. Ia sengaja mencari tempat duduk yang tak ramai dari orang-orang. Sekilas pandangannya menatap puncak Eiffel yang terkena sinar matahari panas. Tak ada yang berubah, masih seperti hari-hari kemarin. Sementara pikirannya melayang ke Jakarta, ke tempat di mana Rama berada. Terbayang kembali saat-saat ia bersama Rama, dan saat-saat di mana ia belajar Bahasa Indonesia bersama Rama...

“Aku... I or me. Kamu, kau, engkau, dikau... you,” ucap Rama diikuti oleh Elyza saat pertama mengajarinya bahasa Indonesia sebagai persiapan untuk masuk SMA favorit di Jakarta sebagai siswa pindahan.

“Aku... cinta... kamu...” canda Rama kemudian.

The meaning is...?” tanya Elyza serius.

I love you,” jawab Rama diiringi tawa pecah.

“Ih, gombal...!” seru Elyza sambil mencubit lengan Rama.

“Oh, you know gombal?” tanya Rama heran.

I read from a dictionary,” jelas Elyza dengan senyum meledek.

Tak sadar, Elyza tersenyum sendiri dalam lamunannya seorang diri itu. Dan tak terasa, matahari sudah berada di ambang maghrib, yang sebentar lagi akan tenggelam meninggalkan siang. Ia segera beranjak dari duduknya untuk melangkah pulang.

Tapi tiba-tiba...

“Hey, who are you?!” teriak Elyza.

Shut up!” bentak laki-laki tak dikenal yang telah mencekal lengan Elyza dengan kuat.

Elyza tetap meronta-ronta meminta untuk dilepaskan. Beberapa orang yang sempat menyaksikan bertanya-tanya...

What‘s wrong with her? (Ada apa dengannya?).

Don’t meddle! This is my business with her! (Jangan ikut campur! Ini urusan aku dengan dia!),” ancam laki-laki tak dikenal itu dari balik topeng yang menutup sebagian wajahnya, sambil mengacungkan kepal kanannya yang terbungkus sarung tangan ke arah orang-orang yang menghadang aksinya.

Don’t shouted! If you want to secure! (Jangan teriak! Jika kamu ingin aman!),” ancam laki-laki itu kepada Elyza.

Elyza terus digiring oleh laki-laki tak dikenal itu, entah mau dibawa ke mana. Feeling-nya ternyata benar kalau dari tadi siang ada sepasang mata yang mengawasi dan menguntitnya.  Mungkin laki-laki itu bagian dari mafia yang terkenal sadis dan pemeras itu?

Timbul rasa menyesal dalam hati Elyza, sebab tadi ia menolak Shelcy, Lola dan Freno yang ingin ikut bersamanya ke Eiffel ini. Setidaknya mereka bisa tahu kondisi nasibnya yang mengerikan saat ini lalu memberitahukannya kepada orang tuanya.

“Rama, selamat tinggal...” bisik hati Elyza dalam bahasa Indonesia yang telah diajarkan Rama dulu dengan perasaan sedih, seolah ia akan pergi selama-lamanya tanpa ada orang yang tahu nasibnya.

Malam mulai terasa menyelimuti sekitar menara Eiffel. Hati Elyza dihantui rasa takut yang mencekam. Apa yang harus ia lakukan untuk bisa lepas dari cengkeraman laki-laki tak dikenal ini? Harus bisa! Elyza berpikir keras...

Sampailah Elyza dan laki-laki asing itu di tepian sungai Seine yang tak jauh dari menara Eiffel.

“Mau apa aku dibawa ke sini?” bisik hati Elyza penuh teka-teki yang menakutkan.

Laki-laki itu mengarahkan pandangan ke arah sungai. Nampak kapal-kapal kecil sebesar perahu hilir mudik di atas air sungai yang tenang. Sementara Elyza tengah berpikir bagaimana untuk bisa kabur, apalagi laki-laki asing itu sudah melepaskan cekalan tangannya.

Tiba-tiba Elyza dikejutkan oleh suara yang membuatnya hampir-hampir seluruh isi dadanya berhamburan...

“Sekarang... Silahkan kalau kamu mau pergi...” ucap laki-laki asing itu dalam bahasa Indonesia sambil membuka penutup wajahnya.

What? Apa? Kaukah... itu...?!” tanya Elyza malah mendekati laki-laki asing itu dan mengamati wajahnya dalam keremangan malam, bukan melarikan diri.

Laki-laki itu tersenyum sendu, tak lagi garang seperti saat menangkap tadi. Dialah laki-laki yang selama ini dirindukan dan dinantikan oleh Elyza...

“Kamu jahat...!” seru Elyza pecah sambil menangkap laki-laki itu dan memukul-mukul punggungnya.

“Maafkan aku...” ucap laki-laki itu yang kini tak asing lagi di hadapan Elyza.

“Tidak ada maaf, kamu sudah buat aku ketakutan,” balas Elyza greget dalam bahasa Indonesia yang masih kaku. “Kenapa kamu tidak kasih tahu aku kalau mau datang, Ram?”

“Kalau dikasih tahu dulu, it is not a surprise, dong,” jawab Rama sambil memilin-milin ujung rambut Elyza yang menjurai ke belakang sebatas punggung.

By the way, kemana saja kamu selama ini?” tanya Elyza lagi sambil merenggangkan pelukannya.

Sorry, I am so busy.”

“Lantas, not time for me? Sampai tak mau balas my messages, tak mau angkat telepon dari aku...”

“Iya, so sorry... Coz, aku punya alasan.”

“Alasan apa?”

“Yaa... membuat pertemuan jadi seperti ini...”

“Terlalu kau, Ram... Jahat, jahat, jahat...!”

Rama lalu menarik tangan Elyza meninggalkan tepian sungai Seine yang mulai sepi. Mereka berdua menyusuri malam melihat-lihat keindahan di sekitar. Nampak menara Eiffel bermandikan cahaya warna-warni yang menggoda pandangan mata. Di ujung puncaknya yang mirip tusuk sate di Gedung Tusuk Sate Bandung, terdapat lampu besar yang memancarkan sinar ke beberapa penjuru. Sementara di bawah empat kakinya, lampu-lampu penerang jalan ditambah lampu-lampu kendaraan yang bergerak hilir-mudik di kolongnya, membuat suasana makin semarak bersama Eiffel di malam hari.

“Hei, kita pulang yuk...” ujar Rama mengingatkan. “Nanti orang tua kamu mencari-cari kamu.”

“Oke...” sahut Elyza penuh manja.

Mereka berdua menyusuri jalan menuju parkiran mobil...

Kebahagiaan benar-benar meluap dalam hati Elyza malam itu, dengan disaksikan menara Eiffel dalam kebisuannya di malam yang terasa dingin.

Bye, Eiffel... Until you on the other nights tomorrow... (Selamat tinggal, Eiffel... Sampai jumpa di malam-malam lainnya besok...),” ujar Elyza sambil melambaikan tangannya dari jendela mobil.

 

*****

 

 


 

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment