“PEMBANTU GRATIS” DAN “BIDADARI”
Semakin hari kian terasa berat
mengurusi blatrak-bletruk dan tetek-bengek dalam rumah tangga. Padahal,
pekerjaannya masih itu-itu juga, seperti: cuci piring, cuci pakaian, setrika,
menyiram pot-pot tanaman hias, mengantar anak ke sekolah, dan urusan rumah
tangga lainnya.
Ya, mungkin karen faktor
usianya yang makin bertambah. Berdasarkan pengalaman, bahwa usia di atas 40
tahun itu adalah saat-saat di mana keluhan-keluhan di badan terasa mulai banyak
berdatangan, seperti: encok, kesemutan, kram, migren, sakit pinggang,
pegal-pegal, nafas pendek, mata gampang ngantuk dan yang lainnya.
“Kayaknya
kita kudu punya pembantu nih, pak,” keluh
Bu Inah kepada suaminya.
“Ya kalo emang perlu...” sambut Pak Somad santai.
“Tapi..., cari perempuan yang
baik-baik, pak,” pesan Bu Inah. “Dan nggak menuntut bayaran yang mahal. Kalo
soal makan mah, biar aja sepuasnya yang ada di sini.”
“Nanti bapak coba usahain,”
angguk Pak Somad.
Satu hari berlalu...
Hingga satu minggu lebih sudah
lewat...
“Nah, bu, ini perempuan yang mau jadi pembantu di rumah kita,” ujar
Pak Somad memperkenalkannya kepada isterinya.
“Ini, pak?” Bu Inah sesaat
memperhatikan perempuan calon pembantunya itu
yang lebih muda dan cantik
dari dirinya. Ada rasa cemburu
merembes ke dalam hatinya.
“Uji coba aja dulu satu
bulan...” Pak Somad memotong ketersimaan isterinya pada calon pembantunya itu.
“Kalo nanti nggak cocok, ya bisa di-ralat lagi...”
“Apa, pak? Lalat?” tanya Bu
Inah ngawur.
“Di-ralat, diperbaiki, gitu...”
jelas Pak Somad.
“Oo... sapi...” Bu Inah tambah
eror.
“Ibu ini, kena virus iklan
ya?”
“Ah, bapak, orang cuma
becanda...”
Perempuan calon pembantu itu
bernama Ceca. Usianya 30 tahun lebih sedikit.
Dia langsung diterima dan mulai bekerja hari itu juga.
“Eh, pak, ngomong-ngomong
bayarannya berapa?” tanya Bu Inah.
“Gak usah bayar, gratis,”
jawab Pak Somad.
“Hah, gratis?” Bu Inah
terperangah, merasa senang dan heran. “Kok bisa begitu, pak?”
“Apa sih yang gak bisa di
dunia ini...”
“Bapak emang pinter...” puji Bu
Inah.
“Kalo gak pinter,mana bisa kawin lagi...” Ups! Pak Somad keceplosan.
“Apa, pak? Kawin?”
“Iya, itu tuuh... sapi jantan tetangga lagi cari sapi betina buat dikawinin katanya...”
“Oo itu... Kirain ayam jago
kita.”
Selamat,
selamat..., bisik hati Pak Somad. Ada
untungnya juga bini kena virus iklan, jadi budek-budek dikit...
Sebulan sudah lewat...
Bu
Inah sangat puas sekali denga hasil kerja Ceca.
Di samping perangainya baik, Ceca juga sangat enerjik dan ulet. Seandainya
punya anak laki-laki yang sebaya, Bu Inah berniat menjodohkannya dengan Ceca.
“Neng
Ceca, kita ngobrol-ngobrol dulu yuk...” ajak Bu
Inah santai.
“Iya,
bu.” Ceca mengikutinya.
“Eeu... Apa Neng Ceca gak
minder gitu, cantik-cantik jadi pembantu?” tanya Bu Inah prihatin.
“Yang penting halal, bu,”
jawab Ceca kalem.
“Tapi, kan... ini gratis lagi?
Apa Neng Ceca gak butuh duit gitu...? Ibu jadi merasa gak enak lo...”
“Ya butuh sih butuh, bu. Tapi,
gimana ya...? Saya juga jadi gak enak ngomongnya...”
“Bilang aja, gak usah ragu-ragu.
Anggap aja ibu ini orang tua sendiri...”
“Mm... Apa ibu nggak marah?”
“Buat
apa ibu marah? Malah seneng kalo Neng Ceca terus terang.”
“Eeu...
sebenarnya...” Ceca lalu menurunkan volume suaranya, karena masih ada
tekanan rasa ragu dan khawatir dalam hatinya. Dan lanjutnya, “Sebenarnya... saya ini isteri mudanya bapak...”
“Ya
ampun Neng Ceca ini...” Bu Inah tertawa-tawa. “Kalo cuma mau beli es kelapa muda mah nggak usah susah-susah, bilang
aja, paling juga berapa duit...”
Ceca melongo... semelongo-melongonya...!
Kirain bakal ada ledakan. Ternyata...
“Ya
Alloh, rupanya suara saya kurang keras, sehingga nggak nyambung ke telinga Bu
Inah,” gumam Ceca pelan.
Ceca tidak mengulangi lagi
penjelasannya itu. Biar saja, nanti juga Bu Inah akan tahu dengan sendirinya
tentang keadaan yang sebenarnya itu.
Seiring perjalanan waktu,
akhirnya Bu Inah mengetahuinya juga tentang diri Ceca sebagai isteri muda
suaminya itu.
Terjadilah pro-kontra dalam
diri Bu Inah: di satu sisi, dia ingin mengusir
keberadaan Ceca itu dari rumahnya; tapi di sisi lain, dia menyukai Ceca karena sudah banyak membantu menyelesaikan
tugas-tugas dalam rumah tangganya. Berandai-andai menjodohkan Ceca dengan anak
laki-lakinya, malah Ceca sudah berjodoh dengan suaminya.
Pikiran dewasa Bu Inah
kemudian mengajak dirinya untuk mau menerima kenyataan pahit itu. Mungkin ini
adalah jalan-ujian dalam perjuangannya untuk meraih gelar “Induk Semang Bidadari” di surga nanti. Insya
Alloh...
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga,
padahal belum datang
kepadamu cobaan/ujian sebagaimana
halnya terhadap orang-orang terdahulu sebelum kamu...?”
(QS. Al-Baqoroh: 214).
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga,
padahal belum jelas bagi
Alloh tentang orang-orang yang berjihad
(berjuang) di antara kamu,
dan belum jelas orang-orang
yang sabar?”
(QS. Ali Imron: 142).
********
No comments:
Post a Comment