Monday, November 16, 2015

PEMBANTU GRATIS DAN BIDADARI



PEMBANTU GRATIS” DAN BIDADARI


Semakin hari kian terasa berat mengurusi blatrak-bletruk dan tetek-bengek dalam rumah tangga. Padahal, pekerjaannya masih itu-itu juga, seperti: cuci piring, cuci pakaian, setrika, menyiram pot-pot tanaman hias, mengantar anak ke sekolah, dan urusan rumah tangga lainnya.
Ya, mungkin karen faktor usianya yang makin bertambah. Berdasarkan pengalaman, bahwa usia di atas 40 tahun itu adalah saat-saat di mana keluhan-keluhan di badan terasa mulai banyak berdatangan, seperti: encok, kesemutan, kram, migren, sakit pinggang, pegal-pegal, nafas pendek, mata gampang ngantuk dan yang lainnya.

Kayaknya kita kudu punya pembantu nih, pak,” keluh Bu Inah kepada suaminya.
Ya kalo emang perlu...” sambut Pak Somad santai.
“Tapi..., cari perempuan yang baik-baik, pak,” pesan Bu Inah. “Dan nggak menuntut bayaran yang mahal. Kalo soal makan mah, biar aja sepuasnya yang ada di sini.”
“Nanti bapak coba usahain,” angguk Pak Somad.

Satu hari berlalu...
Hingga satu minggu lebih sudah lewat...
“Nah, bu, ini perempuan yang mau jadi pembantu di rumah kita,” ujar Pak Somad memperkenalkannya kepada isterinya.
“Ini, pak?” Bu Inah sesaat memperhatikan perempuan calon pembantunya itu yang lebih muda dan cantik dari dirinya. Ada rasa cemburu merembes ke dalam hatinya.
“Uji coba aja dulu satu bulan...” Pak Somad memotong ketersimaan isterinya pada calon pembantunya itu. “Kalo nanti nggak cocok, ya bisa di-ralat lagi...”
“Apa, pak? Lalat?” tanya Bu Inah ngawur.
“Di-ralat, diperbaiki, gitu...” jelas Pak Somad.
“Oo... sapi...” Bu Inah tambah eror.
“Ibu ini, kena virus iklan ya?”
“Ah, bapak, orang cuma becanda...”

Perempuan calon pembantu itu bernama Ceca. Usianya 30 tahun lebih sedikit. Dia langsung diterima dan mulai bekerja hari itu juga.
“Eh, pak, ngomong-ngomong bayarannya berapa?” tanya Bu Inah.
“Gak usah bayar, gratis,” jawab Pak Somad.
“Hah, gratis?” Bu Inah terperangah, merasa senang dan heran. “Kok bisa begitu, pak?”
“Apa sih yang gak bisa di dunia ini...”
“Bapak emang pinter...” puji Bu Inah.
“Kalo gak pinter,mana bisa kawin lagi...” Ups! Pak Somad keceplosan.
“Apa, pak? Kawin?”
“Iya, itu tuuh... sapi jantan tetangga lagi cari sapi betina buat dikawinin katanya...”
“Oo itu... Kirain ayam jago kita.”
Selamat, selamat..., bisik hati Pak Somad. Ada untungnya juga bini kena virus iklan, jadi budek-budek dikit...

Sebulan sudah lewat...
Bu Inah sangat puas sekali denga hasil kerja Ceca. Di samping perangainya baik, Ceca juga sangat enerjik dan ulet. Seandainya punya anak laki-laki yang sebaya, Bu Inah berniat menjodohkannya dengan Ceca.
Neng Ceca, kita ngobrol-ngobrol dulu yuk...” ajak Bu Inah santai.
Iya, bu.” Ceca mengikutinya.
“Eeu... Apa Neng Ceca gak minder gitu, cantik-cantik jadi pembantu?” tanya Bu Inah prihatin.
“Yang penting halal, bu,” jawab Ceca kalem.
“Tapi, kan... ini gratis lagi? Apa Neng Ceca gak butuh duit gitu...? Ibu jadi merasa gak enak lo...”
“Ya butuh sih butuh, bu. Tapi, gimana ya...? Saya juga jadi gak enak ngomongnya...”
“Bilang aja, gak usah ragu-ragu. Anggap aja ibu ini orang tua sendiri...”
“Mm... Apa ibu nggak marah?”
Buat apa ibu marah? Malah seneng kalo Neng Ceca terus terang.”
Eeu... sebenarnya...” Ceca lalu menurunkan volume suaranya, karena masih ada tekanan rasa ragu dan khawatir dalam hatinya. Dan lanjutnya, “Sebenarnya... saya ini isteri mudanya bapak...”
Ya ampun Neng Ceca ini...” Bu Inah tertawa-tawa. “Kalo cuma mau beli es kelapa muda mah nggak usah susah-susah, bilang aja, paling juga berapa duit...”
Ceca melongo... semelongo-melongonya...! Kirain bakal ada ledakan. Ternyata...
Ya Alloh, rupanya suara saya kurang keras, sehingga nggak nyambung ke telinga Bu Inah,” gumam Ceca pelan.
Ceca tidak mengulangi lagi penjelasannya itu. Biar saja, nanti juga Bu Inah akan tahu dengan sendirinya tentang keadaan yang sebenarnya itu.

Seiring perjalanan waktu, akhirnya Bu Inah mengetahuinya juga tentang diri Ceca sebagai isteri muda suaminya itu.
Terjadilah pro-kontra dalam diri Bu Inah: di satu sisi, dia ingin mengusir keberadaan Ceca itu dari rumahnya; tapi di sisi lain, dia menyukai Ceca karena sudah banyak membantu menyelesaikan tugas-tugas dalam rumah tangganya. Berandai-andai menjodohkan Ceca dengan anak laki-lakinya, malah Ceca sudah berjodoh dengan suaminya.
Pikiran dewasa Bu Inah kemudian mengajak dirinya untuk mau menerima kenyataan pahit itu. Mungkin ini adalah jalan-ujian dalam perjuangannya untuk meraih gelar “Induk Semang Bidadari” di surga nanti. Insya Alloh...

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga,
padahal belum datang kepadamu cobaan/ujian sebagaimana halnya terhadap orang-orang terdahulu sebelum kamu...?”
(QS. Al-Baqoroh: 214).

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga,
padahal belum jelas bagi Alloh tentang orang-orang yang berjihad (berjuang) di antara kamu,
dan belum jelas orang-orang yang sabar?”
(QS. Ali Imron: 142).

********


No comments:

Post a Comment