"Cantik banget dia. Pantes kalo jadi primadona di komplek itu..." ujar seseorang kepada temannya sambil memperlihatkan foto seorang wanita di hapenya.
"Mantep bener nih! Namanya siapa? Kamu udah cobain?" reaksi teman yang satunya lagi diiringi tatapan tajam.
"Panggilannya Missy. Belom cobain sih..."
"Gimana kalo malem ini kita ke sono ?!"
"Bayarannya rada mahal!"
"Ga masalah...!"
Aku bisa mendengar dan memahami semua obrolan mereka berdua itu, sebab jaraknya antara aku dan mereka hanya terhalang oleh satu meja kosong.
Rupanya kafe yang baru pertama kali aku kunjungi ini adalah tempat para pebisnis birahi berkumpul dan bertransaksi. Obrolan mereka memang yang terdengar hampir semuanya tentang kencan, rendevouz dan hal-hal yang menyenangkan biologis lainnya.
Aku tertarik dengan obrolan dua orang itu. Aku coba dekati mereka, barangkali ada informasi yang bisa aku manfaatkan...
"Permisi, abang berdua..." ujarku sesopan mungkin.
"Ada apa?" tanya salah seorang.
"Boleh aku duduk di meja depan abang berdua ini?"
"Silahkan aja..."
Sesaat tak ada kata. Aku berusaha menyusun kata-kata sebaik mungkin agar mereka merasa nyaman dan akrab ngobrol dengan aku.
"Kenalan dulu, bang. Aku Kelana," ujarku sambil menyodorkan tangan.
"Gue Rebok, dan temen gue ini Jones," jawab salah seorang yang penampilannya sedikit gondrong dan sangar.
Selanjutnya...
"Mmm... Bang, maaf, boleh ga aku tau primadona di komplek itu?" tanyaku hati-hati.
"Doyan juga sama yang gitu-gituan?" jawab Rebok diiringi nyengir kuda.
"Laki-laki normal, ya jelas doyan dong, bang. Hehehe..."
Jones lalu menceritakannya. Aku mendengarkannya sambil manggut-manggut. Aku benar-benar mendapatkan suatu jalan dari informasi Rebok dan Jones itu.
"Terimakasih, abang berdua..." ucapku hendak pamit.
"Tunggu dulu..." tahan Rebok.
"Ada apa, bang?"
"Komisi."
"O itu... Beres, bang."
Aku keluarkan uang lima puluh ribuan dari dompet, lalu aku berikan kepada mereka berdua. Mereka senang sekali menerimanya sambil tertawa-tawa dan mengacungkan jempol. Kemudian aku pergi dengan aman.
***
Malam baru saja menutupkan kain selimutnya dalam gelap...
Sesuai rencana, aku sudah siap-siap meluncur ke komplek remang-remang itu, di mana di situ ada bersemayam seorang wanita primadona yang namanya Missy. Aku harus bisa ketemu dia.
Dengan helm hitam, kacamata hitam, masker hitam, jaket hitam, celana panjang hitam dan sepatu kulit hitam, aku bergerak menyusuri jalan yang tak banyak belok-beloknya. Aku benar-benar fokus untuk segera sampai tujuan.
Setengah jam kurang lebih, aku sudah merapat di halaman parkir komplek remang-remang itu. Kuambil posisi parkir kendaraan yang aman.
Bangunan komplek itu berbentuk segi empat. Pintu masuk dan keluarnya hanya satu. Di pintu itu diawasi oleh beberapa orang algojo bertato dan berbadan besar-besar.
Dari luar, nampak aktivitas di komplek tersebut biasa-biasa saja. Yang terlihat hanya kendaraan-kendaraan berupa mobil dan motor yang parkir dengan tenang.
Dengan gaya seperti bos besar, aku berjalan memasuki gerbang komplek...
"Malam semuanya..." sapaku kepada para algojo yang berdiri di kiri-kanan gerbang masuk itu.
"Silahkan..." balas para algojo itu sambil menganggukkan kepala.
Di halaman dalam yang berbentuk segi empat itu terdapat kedai-kedai yang menjajakan dagangan berupa: minuman ringan, minuman keras, alat kontrasepsi kondom dan makanan-makanan kemasan lainnya.
Aku langsung menuju ruang bos mamih yang ada di sebelah kanan dari pintu masuk...
"Malam, mamih bos..." sapaku sok akrab.
"Malam juga..." jawab mamih sedikit menatap tajam wajahku.
"Mau dil sama primadona Missy, mih."
"Bentar dulu."
Mamih lalu menelpon seseorang. Tak lama kemudian...
"Dia baru mandi katanya. Dia di lantai 2 ruang VIP nomer 1. Silahkan..." ujar mamih tak banyak tanya-tanya lagi.
"Oke, mih..." jawabku langsung menuju target.
Hanya beberapa menit, aku sudah berada di depan pintu kamar tujuan. Kuketuk beberapa kali daun pintunya...
"Iya masuk aja..." suara dari dalam.
"Permisi..." ucapku setelah berada di dalam kamar.
Sebagai laki-laki normal, jantungku berdebar lebih keras. Missy hanya mengenakan pakaian dalam semata. Aku berusaha menyadarkan gejolak dalam dadaku. Berkali-kali aku mengucapkan istighfar dalam hati.
"Tutup dulu deh badannya," pintaku sedikit menekan.
"Aah, jangan pura-pura, bang. Biasanya kan laki-laki seneng sama yang kayak gini, bang..." ledek Missy dengan gaya genit.
"Kita ngobrol dulu."
"Iya deh."
Missy memakai baju sewajarnya, meskipun masih tetap nampak merangsang.
Kemudian aku membuka masker, kacamata dan topiku. Sesaat Missy tertegun menatapku. Aku raih kedua pundaknya...
"Kenapa sih mpok mesti jadi ginian?" tanyaku sambil menatap tajam.
"Aku..." jawab Missy tersekat.
Missy menundukkan wajahnya. Tak ada kata-kata dari bibirnya. Aku masih memegang kedua pundaknya. Rasa iba merembes ke dalam hatiku.
Aku dan Missy lalu duduk di atas dipan sejajar. Ada air mata yang menitik di pipinya.
"Kok bisa sampe ada di tempat ini mpok?" tanyaku lagi.
"Sejak abang kamu meninggal dunia, aku kebingungan, terutama buat nutupin kebutuhan tiga anak yang ditinggalkannya itu," ujar Missy sambil menyeka air mata yang mengalir di pipinya.
"Kan mpok bisa minta tolong sama aku atau saudara-saudara ipar yang lainnya."
"Setelah abangmu itu meninggal, aku merasa bahwa hubungan kekeluargaan kitab udah putus."
"Jangan beranggapan seperti itu, mpok. Tiga anak abangku itu adalah tali penyambung persaudaraan kita sampe kapanpun."
"Sekarang mau gimana lagi...?"
"Gini aja, mpok masih betah di tempat ini buat ngelayanin para laki-laki hidung belang itu? Sementara dosanya lebih besar daripada duit yang mpok dapatkan!"
"Aku bingung..."
"Bingung kenapa?"
"Kalo keluar dari sini, aku harus membayar dulu hutangku pada bos mamih."
"Berapa?"
"Sekitar 5 juta."
"Ya udah kita beresin sekarang. Kalo bisa sih, sekalian kita bakar tempat ini, biar ga ada lagi laki-laki yang mengumbar nafsu birahinya di sini. Hehehe..."
"Husss! Ada-ada aja kamu ini."
Missy segera mengemas pakaiannya. Agar tak menimbulkan kecurigaan, ia tak membawa semua baju-bajunya.
Aku dan Missy keluar kamar, berjalan dengan gaya romantis seperti orang yang sedang berkencan. Kami berdua menuju ruangan bos mamih.
"Halo, mih..." sapa Missy penuh senyum.
"Mau kemana nih?" tanya mamih.
"Booking di luar dulu, mih. Ini kakap, mih."
"Mantep lah! Semoga puas deh..."
"Ini, mih, aku sekalian mau bayar hutangku."
"Weh, kakap bener nih! Gitu kalo dapet rezeki!"
Setelah beres segalanya, aku dan Missy segera meninggalkan komplek remang-remang itu. Jam menunjukkan pukul 10 malam lebih sedikit.
"Kita isi perut dulu di sini," ujarku mengentikan laju kendaraan.
"Iya, aku juga kebelet pipis," balas Missy sambil memegang perutnya.
Di rest area pinggir metropolitan jalur Pantura itu, aku pesan dua nasi goreng dan minuman.
Ada dua orang dari kejauhan menatapku berulang-ulang. Mungkinkah mereka berdua mengenali aku? Aku nyaris tak bisa mengenali wajah mereka di keremangan malam, maklum mataku sudah plus 225. Setelah Missy menuju toilet, dua orang itu pergi juga.
Tak lama hapeku berbunyi. Panggilan masuk dari ustadz Zulkifli...
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumussalam..."
"Lagi ngapain malem-malem gini sama cewek cantik?" tegur ustadz Zulkifli.
"Aah, ustadz Zul ini sok tau!" candaku.
"Heh, ustadz Maulana, ngaku aja. Dua informan tadi udah ngasih tau aku."
"Aku sendirian, tadz."
"Udah jangan bohong!"
"Cewek itu lagi ke toilet, jadi aku sekarang duduk sendirian."
"Udah jangan maen manthiq segala. Yang jelas ente masih berdua sama dia."
"Hahahah...!"
Ustadz Zulkifli adalah teman seprofesiku. Aku senang bercanda-canda dengan dia. Dia lebih tua sedikit dari aku. Dia orangnya low profile. Aku menggunakan bahasa bebas saja bila ngobrol dengannya.
"Ngapain sama cewek itu?" tanya ustadz Zul lagi.
"Misi penyelamatan, tadz," jawabku serius.
"Misi penyelamatan apa? Ada-ada aja ente nih!"
"Gini, tadz. Udah sekitar lima tahun aku ga dengar kabar berita mantan kakak iparku sejak ditinggal mati oleh abangku. Eh, tau-tau dia berada di lembah hitam."
"Masya Alloh! Na'udzu billahi min dzalik!"
"Nah, kebetulan ustadz nelpon, sekarang aku sama dia mau ke rumah ustadz. Soalnya sekarang aku masih bingung mau dibawa kemana dia. Gimana, tadz?"
"Ya ga apa. Lagian tambah malem nih. Ga baik ente berduaan sama dia di luaran."
"Syukron, tadz. Nanti ngobrolnya kita lanjut di rumah."
Missy sudah kembali dari toilet. Setelah ngobrol-ngobrol sambil makan nasi goreng, aku dan Missy menuju rumah ustadz Zulkifli. Perjalanan kurang lebih 40 menit.
Setibanya di rumah ustadz Zul, Missy dipersilahkan untuk istirahat dan tidur di kamar depan. Kebetulan rumah ustadz Zul ini ada tiga kamar.
Sementara aku sama ustadz Zul mau ngobrol dulu...
"Namanya betul Missy dia itu?" tanya ustadz Zul.
"Nama aslinya Minatun. Missy itu nama viral di komplek itu. Yang katanya sih punya arti ngangenin, gitu."
"Gimana ceritanya itu sampe ada di tempat remang-remang itu?"
"Awalnya sih faktor ekonomi..." dan seterusnya aku menceritakannya.
"Selanjutnya dia mau kemana tuh?"
"Nah, itu, tadz... Gimana kalo dia sementara jadi pembantu aja di rumah ustadz ini? Bantu mengurus tiga anak ustadz itu, sebagai ganti ibunya yang udah meninggal itu."
"Waduh, subhanalloh... Pembantu secantik itu bisa menggoyahkan iman."
"Ya kalo pengen aman, nikahin aja, tadz. Hehehe..."
”Alah, bisa aja ente ini!"
"Menyelamatkan, tadz. Aku kan udah, nah giliran ustadz sekarang."
"Kenapa ga ente aja sekalian?"
"Dia itu kan mantan kakak iparku. Jadi aku jengah sama dia, tadz."
Sejenak ustadz Zul seperti berpikir. Aku berharap beliau ini punya pertimbangan yang condong pada ajakanku. Kemudian beliau membaca ayat Al-Quran dalam surat An-Nur ayat 3:
"... Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik. Dan diharamkan hal itu atas orang-orang beriman."
"Betul itu, tadz. Yaitu, bagi perempuan pezina yang belum tobat, memang haram kita nikahi, tadz. Tapi kalo dia udah tobat, maka tidaklah haram," jelasku simpel.
Ustadz Zul manggut-manggut. Belum ada komentar dari bibirnya.
"Seperti ini contohnya, tadz," lanjutku. "Perempuan Yahudi atau Nasrani yang baru masuk Islam itu boleh kita nikahi. Seperti Rosululloh dulu menikahi Juwariyah binti Al-Harits dari Yahudi Bani Mustholiq yang baru masuk Islam sesudah perang Bani Mustholiq. Juga beliau menikahi Shofiyah binti Huyayy dari Yahudi Bani Nadhir sesudah Perang Khoibar."
"Yah, aku tau itu..." komen ustadz Zul masih dengan manggut-manggut.
"Nah, apa bedanya, tadz, dengan perempuan pezina yang udah tobat itu...?"
"Iya iya iya... Tapi masalahnya, terlalu tergesa-gesa bagiku. Aku belom kenal dia seperti apa."
"Dulu sewaktu sama abangku, dia itu perempuan baik-baik. Sekarang gini aja, tadz. Biarin dulu dia jadi pembantu selama satu bulan di rumah ustadz ini. Selama satu bulan itu, ustadz amati deh dirinya baik-baik. Hitung-hitung uji keimanan. Kalo ustadz ga tahan, segera nikahi aja deh, tadz. Di tangan ustadz, insya Alloh, dia jadi lebih baik."
"Aah, ente mojokin aku terus nih..."
"Ini misi penyelamatan lho, tadz. Lama banget sih mikirnya. Pahalanya besar nih, tadz. Hehehe..."
"Iya deh... Uji coba dulu satu bulan."
"Nah, gitu, tadz. Lega aku mendengarnya."
"Ente lega, aku nih jadi berdebar-debar!"
"Demi misi! Atau demi Missy, tadz?" "Udah ah bercandanya. Udah larut malem juga nih.
"Yuklah kita istirahat..."
Ustadz Zul pergi ke kamar anaknya untuk melihat nyamuk-nyamuk yang menggigit, kemudian ke kamarnya sendiri. Sementara aku cukup berbaring di kursi tamu saja.
Bismika allohumma ahya wa amut wa yub'atsu insya Alloh...
***
Hampir satu bulan berlalu...
Alhamdulillah... Belum satu bulan, ustadz Zulkifli sudah menghubungi aku, bahwa dirinya siap untuk menikahi Missy. Alangkah bahagianya aku mendengarnya. Maka, tak perlu lagi ada yang aku khawatirkan perjalanan ke depannya untuk mantan kakak iparku itu. Misi sudah selesai.
Semoga, perjalanan rumah tangga mereka selalu berada dalam perlindungan dan rahmat Alloh SWT. Aamiin...
***
Arti kata-kata:
- mpok (Betawi) = kakak
- jengah (Betawi) = hambar, tidak nafsu
- manthiq (Arab) = ilmu logika
**********end
No comments:
Post a Comment