"Aduh...!" sungut Ria kaget.
Semua buku di tangan Ria terjatuh di lantai tanjakan.
"Gimana sih kamu jalannya?" lanjut Ria menatap wajah meringis si penabrak.
"Maaf, ukhti, ga sengaja," jawab pemuda si penabrak menyadari kesalahannya.
"Basi..."
"Biar aku aja yang ngambil buku-bukunya."
"Sudah lah..."
"Ga apa kok."
Ria dan pemuda itu nyaris membungkuk bersamaan untuk mengambil beberapa buku yang jatuh berserakan itu.
Beberapa saat kemudian...
"Aku Rifana," ujar pemuda itu memperkenalkan dirinya sambil menempelkan telapak tangan di dada sebelah kanan.
"Ria," balas Ria dengan sedikit mengangkat tangan kanannya.
Nampaknya mereka saling mengerti bahwa tidak boleh bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.
"Tinggal di mana?" tanya Rifana selanjutnya.
"Apa perlu tau?" jawab Ria sedikit kesal.
"Yaa... Kita kan kuliah satu kampus, siapa tau bisa saling bantu..."
"Aku di kosan belakang ATM center."
"O di situ. Aku tau..."
"Hmm..."
Selanjutnya tak ada pembicaraan. Mereka berjalan searah menuju kelas masing-masing.
***
Nuuut...!
Sampai tiga kali panggilan, Ria baru mengangkat teleponnya. Kadang dia enggan mengangkat panggilan yang tak dikenal...
"Assalamu'alaikum..." suara laki-laki.
"Wa'alaikumussalam..." jawab Ria agak malas.
"Ria ya?"
"Siapa dulu kamu? Di mana?"
"Rifana."
"Hei, dari mana kamu tau nomer aku?"
"Dari pamanku."
"Pamanmu yang mana? Aku ga kenal!"
"Pemilik kosanmu itu."
"Oo... Itu milik pamanmu. Baru tau aku."
"Ya udah. Btw, kamu lagi ngapain nih?"
"Lagi mikir masa depan. Mau jadi apa nantinya."
"Hidup ini kan untuk ibadah. Lainnya itu hanya bumbu-bumbunya aja, agar hidup ga terasa bosan."
"Iyee... Tapi kan kita juga harus sukses di masa depan."
"Ya haruslah... Nah, paculah terus semangat untuk mengejar kesuksesan di masa depan itu!"
"Ah, kamu kayak motivator aja."
"Ya gitulah dikit-dikit. Sesama teman kan kita harus saling mendukung. Hehe..."
"Eh, Fana, aku jadi pengen beli buku motivasi nih..."
"Ga usah beli, Ri. Nanti aku kasih. Gratis!"
"Serius nih?"
"Iya lah..."
Rifana kemudian menyudahi obrolannya. Rasanya sudah cukup puas bisa ngobrol dengan Ria. Semula ia menyangka kalau Ria itu orangnya ketus dan tertutup, sebagaimana sewaktu tabrakan di depan kampus dua hari lalu itu. Ternyata, Ria asyik juga diajak ngobrolnya.
***
Matahari belum menampakkan sosok imutnya pagi itu...
Tapi Ria sudah nampak berlari-lari kecil di sekitar halaman depan kampus tempat kuliahnya. Karena jaraknya sangat dekat dengan tempat tinggalnya. Kira-kira 200 meteran.
Tanpa disadarinya ada sepasang mata mengawasinya. Tiba-tiba...
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumussalam..."
"Eh, kamu, Fana, bikin kaget aja..." ucap Ria menghentikan lari kecilnya.
"Kok sendirian aja nih?" ledek Rifana sambil mensejajarkan langkah.
"Siapa bilang?"
"Mana orangnya?"
"Tuh sebelah kiri!"
Rifana clingak-clinguk mencari-cari. Tak ada orang lain selain dirinya.
"Maksudnya, sebelum aku datang tadi," jelas Rifana kemudian.
"Ya jomblo emang sendirian kok!" tegas Ria tanpa tedeng aling-aling.
"Masa sih di kampus banyak gitu cowok ga ada yang menaksir dan ditaksir sih?"
"Aku udah bilang sama mereka, bahwa aku datang ke Makassar ini untuk kuliah, bukan untuk cari pacar!"
"Tapi kemarin aku baca di status WA kamu tertulis... rindu dan mencintaimu dengan caraku sendiri..."
"Itu teman biasa aja kok..."
"Mulanya memang teman biasa sih. Lama-lama, bisa jadi teman spesial..."
"Udah lah ga usah bahas itu."
Sesaat tak ada kata. Pandangan mereka tertumpu pada kendaraan yang mulai banyak lalu-lalang.
"Eh, Ri, gimana kalo besok lari paginya kita ke pantai Losari?" ajak Rifana coba-coba.
"Jauh juga lho," tawar Ria sedikit gamang.
"Kan olahraga. Nanti aku traktir makan coto Makassar pulangnya."
"Mmm... Boleh deh."
"Jamnya seperti tadi pagi ya?"
"Insya Alloh."
Jingga pagi sudah hilang, perlahan berganti sinar matahari yang mulai memanas.
Ada sebias harapan meremang dalam ruang hati mereka berdua. Tentang rasa yang sama. Perjalanan waktu akan menceritakan kisah mereka selanjutnya...
***
Saat pagi bertaburan warna keemasan dan jingga di ufuk timur mayapada...
"Subhanallah... Luas banget ya," ujar Ria penuh takjub memandang hamparan pantai Losari sambil menarik dalam-dalam udara pagi yang terasa segar.
"Cukup luar biasa..." timpal Rifana yang juga terpesona oleh pemandangan pantai Losari yang baru bangun dari tidurnya itu.
"Aku baru pertama kali ke sini," aku Ria diiringi rasa syukur tak terhingga.
"Kalo aku sih rasanya kira-kira..." ujar Rifana agak tersendat.
"Sering ke sini?" tanya Ria sambil melirik.
"Sama, baru pertama kali," jawab Rifana dengan terkekeh.
"Pret! Kirain sering!" umpat Ria merasa dipermainkan.
Pantai Losari adalah merupakan icon kebesaran kota Makassar. Hamparan bibir pantainya di-makeup sebegitu rapih penataannya. Mulai dari penempatan pepohonan, tempat duduk santai, alokasi para pedagang, posisi jalanan di pinggir pantai, stand game, tempat peribadatan, lapangan anjungan, hingga penempatan huruf-huruf besar yang bertuliskan: PANTAI LOSARI (sebagai promosi eksistensi kebesaran pantai tersebut).
Ria dan Rifana beranjak menuju sebuah masjid yang terletak di lepas pantai. Namanya ialah Masjid Amirul Mukminin. Orang banyak menyebutnya sebagai Masjid Terapung, karena letaknya tidak di daratan. Masjid tersebut memiliki dua kubah besar berwarna biru dan dua menara tinggi yang di ujungnya terdapat menara kecil berwarna biru juga. Muatan jamaahnya sekitar 500 orang. Akses jalan menuju masjid itu dua arah, sebelah kiri dan kanan.
Ria dan Rifana tidak berniat masuk ke dalam masjid itu. Mereka berdua menikmati keindahannya dari tepi pantai yang jaraknya hanya beberapa meter.
"Lain kali kita coba sholat di dalamnya ya..." ujar Rifana berharap.
"Kapan?" balas Ria ingin jelas waktunya.
"Insya Alloh, nanti..."
"Aamiin..."
Dari Masjid Amirul Mukminin itu, tadinya mereka berdua ingin menuju ke Masjid 99 Kubah yang letaknya tidak jauh dari situ. Tapi Rifana mengajak Ria ke tepi pantai untuk duduk-duduk santai dulu...
"Hmm, segarnya..." desis Rifana menghirup udara pantai yang semilir terasa sejuk.
"Sempurna..." timpal Ria yang merasa kagum dengan harmonisasi antara indahnya pemandangan dengan nyamannya suasana sekitar.
Setelah hening sejenak...
"Besok aku akan pulang ke Jawa..." ujar Rifana terasa berat sambil melirik Ria sekilas.
"Sebenarnya rumah tinggalmu di mana sih?" balas Ria balik bertanya.
"Ya di Jawa. Di Makassar ini aku hanya sementara aja, sebuat kuliah gitu."
"Besok kuliahmu gimana?"
"Kuliahku udah selesai. Aku ke sini hanya untuk membereskan administrasi yang belum selesai."
"Mmm..."
Sesaat Ria tak ada selera untuk berkata-kata. Pandangannya dilepas ke luasnya hamparan pantai. Perlahan ada bayangan kehilangan mengawan di ruang batinnya. Pertemuan beberapa kali dengan Rifana itu tanpa disadarinya telah menumbuhkan sesuatu rasa yang tak bisa dilogikakannya, meskipun ia sudah komitmen bahwa kedatangannya ke Makassar ini bukan untuk mencari pacar. Tapi manalah ia tahu, kalau cinta itu datang menyelinap bagai sang pencuri di malam hari, tanpa permisi dan mengetuk pintu.
"Tapi nanti aku ke sini lagi kok, untuk menyampaikan sebuah titipan..." ucap Rifana membuat Ria bangkit responnya.
"O yah. Titipan apa, dari siapa, untuk siapa?" tanya Ria jadi penasaran.
"Emangnya kamu pengen tau?"
"Ga banget sih..."
"Titipan bunga."
"Cuma bunga? Sebegitu pentingnyakah?"
"Bunga spesial!"
"Spesial apanya?"
"Bunga dari Jawa. Lain dari yang lain..."
"Di Makassar ini banyak kok macam-macam bunga."
"Bunga yang kubawa itu ga ada di Makassar ini."
"Terserah deh..."
"Oke, nanti aku jelaskan di WA aja ya, supaya kamu bisa mengulang-ulang bacanya."
Tak terasa, warna pagi sudah hilang di langit. Matahari nyaris berada di titik 90 derajat.
Ria dan Rifana segera meninggalkan pantai Losari. Berharap mereka berdua bisa berkunjung lagi lain waktu, agar makin berwarna cerita hidup ini.
***
Sehari sudah lewat. Tapi tak ada WA dari Rifana. Hingga bertemu lagi dengan warna pagi seperti yang kemarin...
Pagi itu, Ria nampak tak seenerjik pagi kemarin. Terasa ada yang hampa di ruang dadanya. Sepertinya memang sang pencuri itu telah mengobok-obok suasana hatinya. Dan tiba-tiba...
"Assalamu'alaikum..." suara dari sebelah.
"Wa'alaikumussalam..." balas Ria mendadak ceria. "Belum siap-siap mau berangkat ke Jawa?"
"Dibatalin dulu," jawab Rifana.
"Kenapa?"
"Keberangkatan pesawatnya ditunda."
Ada rasa bahagia dalam hati Ria. Dengan demikian, ia masih bisa bertemu dengan Rifana. Entah kenapa...
"Nah, ini bunga titipannya..." ucap Rifana sambil memperlihatkan setangkai bunga merah.
"Untuk siapa?"
"Untuk dirimu."
"Aku ga mau punya pacar dulu."
"Itu kan di bibirmu, lain dengan yang di hatimu..."
"Sok tau ah..."
Jujur, Ria tak bisa membohongi perasaan dalam hatinya. Pencuri itu benar-benar telah mengambil apa yang ada dalam isi dadanya itu. Ia pun jatuh, tak bisa menahannya. Jatuh cinta!
Rifana tak perlu lagi meminta agar Ria membalasnya langsung. Cukup melihat senyum Ria dihiasi dua lesung pipinya yang mengembang dan nyaman berada di sampingnya, itu sudah membuktikan bahwa Ria berkenan menerima kehadirannya. Hingga waktu membawanya ke titik yang lebih serius lagi.
Pagi jingga itu menjadi saksi dua hati merapat dalam satu rasa yang sama. Dan Masjid Kubah 99 sedang menunggu kehadiran mereka berdua di Pantai Losari, City Of Makassar...
**********end
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete