Monday, July 26, 2021

CERPEN: "JAMU ONLINE YANG MENGGODA"

     
       Sebuah motor matic merah bertuliskan "princess" di bodinya dan di atas joknya terdapat sebuah kotak kayu bertuliskan "jamu", berhenti di depan rumah sebelah. Pengendaranya seorang perempuan berhelm merah juga, turun mendekati tetangga sebelah itu.

      Zidan mendengar tanya jawab mereka berdua, tapi tak jelas kata per katanya. Dan, tahu-tahu tetangga sebelah itu menunjuk ke arah rumahnya. Si pengendara matic merah princess itupun memutar badannya dan berjalan ke arah rumahnya yang berjarak hanya sekitar 10 meter.

       Beberapa menit kemudian...

      "Apakah ini rumah mas Zidan?" tanya perempuan itu.
      "Iya. Ada apa, mbak?" jawab Zidan penuh selidik.
       "Mas kan yang tadi pesen jamu kuat lewat WA?"
       "Jamu kuat?"

      Zidan benar-benar bingung! Dari tadi pagi ia belum buka hape, apalagi kirim pesan lewat WA. Pesan jamu kuat lagi.

      "Salah alamat kali, mbak," sanggah Zidan kemudian.
      "Ini kan blok E 10 nomer 18. Sesuai yang tertulis di WA nih," ujar perempuan itu sambil menyodorkan hapenya kepada Zidan.
      "Maaf, mbak, coba aku lihat nomer pengirimnya."
      "Silahkan..."

      Zidan lalu mencatat nomer si pemesan jamu kuat itu. Kemudian ia akurkan dengan nomer-nomer yang ada di dalam kontak hapenya. Dan, ternyata itu nomer punyanya Raydan. Sialan aku dikerjain, umpat Zidan dalam hati.

       Dugaan Zidan ternyata benar. Siapa lagi yang suka iseng-iseng seperti itu padanya, kalau bukan Raydan.

      "Oo... Ini nomer hape teman aku, mbak," jelas Zidan sambil memperlihatkannya kepada si mbak itu.
      "Kok bisa gitu ya...?" keluh si mbak seperti kecewa.
      "Biasa, mbak... Dia itu suka bercanda."
      "Masa sih aku dibercandain gitu?"
      "Dia bercandanya sama aku, mbak."
      "Yaa... Terus pesanan jamunya gimana?"
      "Tetap aku beli, mbak. Tenang aja."
      "Kepaksa toh?"
      "Ngga lho, mbak. Aku memang pecinta herbalis. Lihat aja tuh, di loster atas pintu banyak botol-botol bekas herbal yang aku konsumsi. Juga aku suka minum jamu."
      "Aku sih takut sampeyan kepaksa aja beli jamunya..."
      "Ngga toh, mbak."
      "Jamu kuat yo, mas?"
      "Kuat apa, mbak?"
      "Yo kuat buat istri toh, mas."
      "Hehe... Aku dah ora punya istri, mbak. Wis almarhumah."
      "Oo... Sampeyan jomblo toh  sa'iki (sekarang)?"
      "Ya gitulah..."
      "Jadi, mau jamu apa nih?"
      ”Jamu sehat aja deh."

      Selama si mbak jamu meracik jamunya, Zidan memperhatikan penampilannya. Terutama soal gayanya yang modis dan keren, layaknya bukan tukang jamu.  Bisiknya dalam hati sambil geleng-geleng kepala pelan...

      "Tukang jamu cintik gini ya. Pastinya banyak pelanggan laki-laki yang suka nih. Apa suaminya ga cemburu tuh..."

      Beberapa menit kemudian Zidan sudah meminum jamu sehat itu. Pahitnya lumayan terasa. 

     "Mantep bener paitnya..." komen Zidan sambil kercap-kercap.
      "Namanya jamu ga jauh dari pait, mas," balasnya diiringi senyum manis.

      Lalu Zidan mengalihkan pembicaraan sebentar. Ingin tahu sedikit tentang dirinya...

      "Mmm... Boleh tau, nama mbak siapa?" tanya Zidan santai.
      "Panggil aja Jumi. Semua langganan panggil seperti itu."
      "Sip, mbak."

      Sebelum Jumi melanjutkan ngider dagangannya ke para pelanggannya yang lain, Zidan memesan segelas jamu kuat buat Raydan dan sudah dibayarnya.

      "Rumahnya dari sini lurus. Belok kanan di perempatan. Terus belok kiri di pertigaan. Sebelum belok kanan di pertigaan arah keluar perumahan, di situ rumahnya, blok B nomer 3, pagar besi hitam," jelas Zidan tentang arah menuju rumah Raydan.
      "Nggih, mas..." angguk Jumi kemudian pamit pergi.

      Beberapa menit berlalu, Jumi sudah ada di depan rumah Raydan...

      "Permisi..." ujar Jumi di depan pagar.
      "Ada apa, mbak?" jawab Raydan dari dalam.
      "Mas Raydan ya?"
      "Iya aku sendiri."
      "Ini pesenan jamu dari mas Zidan buat mas Raydan katanya."
      "Bentar, mbak..."

      Raydan lalu menelpon seseorang...

      "Halo, Zidan..."
      "Udah sampe pesenannya, Ray?"
      "Kamu kan tau, aku ini ga suka minum jamu, Zid. Ga tahan paitnya!"
      "Sekali-kali lah minum yang pait. Baik kok buat kesehatan."
      "Iyaa... Tapi paitnya itu..."
      "Cobain dulu deh. Udah aku bayar kok."

      Zidan lalu menghubungi istrinya Raydan. Bertiga mereka terlibat percakapan dalam telepon...

      "Suruh tuh, teh, abangmu minum jamu..." suara Zidan sambil terkekeh.
      "Dia ga suka minum jamu, bang Zid," sahut istri Raydan.
      "Tau tuh Zidan, ada-ada aja..." timpal Raydan agak kesal.
      "Sekali-kali cobain minum yang pait. Sehat kok. Yang pesen duluan kan kamu, Ray. Udah lah minum aja. Kasian tuh mbak Jum nungguin..." tandas Zidan.

      Akhirnya, atas desakan istrinya, Raydan mau juga minum jamu, meskipun dia tak suka dengan rasa pahitnya. Dia sadar, ini senjata makan tuan bagi dirinya.

      ***

      Esoknya di pos depan rumah Raydan...

      "Seumur hidup, baru kemaren aku ngerasain lagi paitnya jamu..." ujar Ray sambil bergidik.
      "Kamu juga yang mengundang tukang jamu itu datang..." sahut Zidan dengan terkekeh.
      "Maksud aku sih supaya kamu bisa kenalan sama dia."
      "Emangnya Jum itu siapa?"
      "Nanti kamu bakal tau sendiri deh."
      "Kamu kenal dia di mana?"
      "Aku kenal dia dari temanku yang jadi langganannya."

       Ada rasa penasaran dalam hati Zidan  tentang diri Jumi itu. Kenapa Raydan sampai ingin memperkenalkannya? Tapi ia tak mau banyak tanya lagi sama Raydan. Ia akan mencari informasinya sendiri.

      ***

       Pagi Minggu...

       Saat Zidan membuka WA, tahu-tahu dirinya sudah berada di grup "Langganan Jamu Online Juminah (LJOJ)".

      Zidan menelusuri info grup-nya. Ia menemukan pembuatnya ialah Juminah, jumlah anggotanya 200 orang lebih.

      Zidan senyum-senyum sendirian. Ini baru tukang jamu berkemajuan, bisik hatinya.

      Dalam postingan grup LJOJ hari Minggu itu, Zidan dan Raydan disebut oleh Jumi. Tulis Jumi...

      "Halo mas @zidan, mas @raydan... Mau minum yang sehat pait ga nih pagi ini...”
      "Aku sih ga mau ah. Lidahku emoh. Aku jadi penyimak aja deh..." balas Raydan dengan emoji lidah ngelel.
      ”Boleh, mbak Jum," balas Zidan dengan emoji jempol tiga.
      "Aku datang ya..." jawab Jum, juga dengan emoji jempol.

      Zidan menutup WA-nya. Menemui Jum yang sebentar kemudian sudah ada di depan rumahnya.

      "Jamu sehat aja ya, mbak. Jangan jamu kuat. Ga punya lawannya soalnya. Hehehe..." ujar Zidan diiringi canda.
      "Iya, mas..." jawab Jum dengan senyum manis terkulum.

      Sesaat berlalu...

      "Langganan mbak Jum kebanyakan laki-laki ya, terlihat dari nama-nama mereka di grup LJOJ itu," ujar Zidan memulai obrolan.
      "Mereka suka minum jamu toh, mas,” jawab Jum santai.
      "Apa... Suamimu ga cemburu gitu...?"
      "Yo ga toh, mas."
      "Masa sih sebagai laki-laki normal...?"
      "Wong dia wis terkubur di alam sana kok."
      "Udah meninggal dunia?"
      "Iya, mas."
      "Sama."
      "Opo ne, mas?"
      "Jomblo e."
      "Sampeyan bisa aja, mas."

       Zidan dan Jum berdua tertawa. Sepertinya keakraban mulai terjalin di antara mereka berdua. Nampaknya ada rasa senang dari ekspresi di wajah mereka. Entah rasa apa dalam hati mereka...

      "Ga cape keliling tiap hari?" lanjut Zidan.
      "Dulu aku selalu di toko bersama suamiku,  menunggu langganan yang datang. Tapi setelah dia meninggal, aku coba keliling seperti ini. Sekedar refreshing kata orang sih, buat ngilangin kejenuhan di toko..." cerita Jum agak panjang.
      "Lantas sekarang siapa yang nungguin toko sampeyan?"
      "Ada pelayannya empat orang."

      Zidan makin terbuka mengorek kepribadian Juminah dan kehidupannya...

      "Ada niat nikah lagi?" tanya Zidan tak lepas dari canda.
      "Ga kepikiran, mas," jawab Jum malu-malu.
      "Kalau ada yang mau?"
      "Tergantung kecocokan, mas."

      Juminah tak bisa lebih lama lagi ngobrol dengan Zidan. Para pelanggan lain sudah pada menunggunya. Jum kemudian pamit.

      ***

      Di hari lain...

      "Siapa yang kangen sama aku...?" tulis Jum di grup LJOJ-nya. Maksudnya ialah yang kangen sama minum jamu-nya.
      "Akuuu...!" jawab para pelanggan yang kebanyakan laki-laki.
      "Zidan kangen tuh...!" tulis Raydan.
      "Lho kok dilempar ke mas Zidan, mas Ray?" balas Jum.
      "Dia takut sama istrinya, mbak...!" celetuk Zidan.
      "Maksud aku kan, kangen minum jamu aku, gitu toh. Jangan salah resepsi yo..."
      "Persepsi, mbak!"
      "Oh iyo. Keseleo aku. Hehe..."
      "Resepsi itu adalah acara makan-makan. Misalnya, di acara pernikahan antara dirimu sama aku. Hehehe..."
      "Ah, mas Zidan canda melulu. Dibaca banyak orang lho, mas."
       "Guyon kok."

       Beberapa anggota grup meng-amin-kan postingan Zidan itu. 

       Obrolan sedikit mulai bergeser...

      "Ada jamu tolak miskin ga, mbak?" tulis seorang anggota laki-laki yang lainnya.
      "Kalo jamune ga ada, mas. Tapi kalo mau nolak kemiskinan, ya seperti aku ini lho, kerja!" balas Jum.
      "Wis, mbak, ga usah kerja lagi. Nikah aja lah, mbak. Karo sopo iki...? Ya itu tadi... Mas Zidan!"
        "Wis, ah... Aku ga mau di-bully...!"

      Mungkin karena malu, Jumi sesaat kemudian permisi keluar dari obrolan, mau melanjutkan spreading-nya ke para langganan yang lainnya.

       ***

      Saat itu, menjelang magrib di tikungan keluar perumahan...

      Seorang ibu melambaikan tangannya agar Jumi menghentikan laju matic merahnya...

      "Heh, Jum! Sebaiknya kamu ga usah jualan jamu di perumahan ini lagi deh!" ucap si ibu dengan kasar, tanpa basa-basi lagi.
      "Lho, kenapa, bu?" tanya Jumi heran.
      "Kamu lama-lama bisa bawa resah rumah tangga orang banyak di sini!"
      "Bawa resah? Rumah tangga? Aku ga ngerti, Bu."
      "Yah! Contohnya rumah tangga aku!"
      "Ada apa sama rumah tangga ibu?"
      "Ya itu! Tiap pagi suami aku pengen minum jamu kamu terus! Aku curiga, jangan-jangan cuma pengen ketemu kamu aja!"
      "O itu... Aku kan jualan, bu. Siapa aja yang beli aku layani. Adapun urusan suami ibu, aku ga mau tau. Dan bukan alasan agar aku ga boleh jualan di sini."

      Dua orang ibu perumahan lainnya mendatangi Jumi dan si ibu itu...

      "Ada apa ini mbak Jumi dan Bu Mpong? Kelihatannya ada masalah nih?" tanya salah seorang ibu yang baru datang itu.
      "Ini... Aku dilarang oleh Bu Mpong itu, ga boleh jualan jamu lagi di sini," jelas Jumi.
      "Masalahnya aku khawatir ke depannya, Bu Huda," bela Bu Mpong kesal.
      "Khawatir kenapa, Bu Mpong?" tanya Bu Huda.
      "Suami-suami kita bisa tergoda sama dia. Alesannya minum jamu, padahal cuma pengen ketemu sama dia. Contohnya suami aku..." jawab Bu Mpong greget.
      "Oo... Itu mungkin cuma cemburunya Bu Mpong aja," sela Bu Sesi. "Suami aku buktinya sesudah sering minum jamu kuat mbak Jum ini, malah lebih perkasa, ga loyo lagi seperti sebelumnya."
      "Uhh! Yang kayak gitu mah ga usah diceritain, Bu Sesi," sergah Bu Huda.

      Beberapa ibu lainnya berdatangan lebih banyak lagi mengerubungi Jumi dan Bu Mpong. Mereka ingin tahu ada apa. Kebetulan istrinya RT, Bu Wasita, juga ikut hadir di situ.
      "Sekarang mah begini... Kita ga boleh melarang siapapun berjualan di sini, selama itu baik-baik aja dan ga mengganggu siapapun. Lagian, perumahan ini bukan milik pribadi kita. Namun aku ingatkan... Buat mbak Jumi, jangan suka tebar pesona di hadapan laki-laki, apalagi itu suami orang. Dan buat Bu Mpong, urusan suami ibu suka sama mbak Jum, itu urusan Bu Mpong berdua sama suami ibu, selama mbak Jum ini ga ada maen sama suami ibu. Nah, aku kira beres yah permasalahannya..." papar Bu Wasita panjang lebar.

      Jumi merasa berterimakasih kepada Bu Wasita yang sudah ikut menengahi permasalahannya dengan Bu Mpong. Tapi Bu Mpong nampak dari raut wajahnya tidak puas dengan keputusan yang disampaikan oleh Bu Wasita itu. Bagi Jumi, itu bukan masalah buatnya, selama yang ia lakukan itu berjalan baik-baik saja, tanpa ada niatan mengganggu siapapun.

      ***

      Pagi itu...

      Sebagaimana biasa, Jumi selalu mengawali postingan di grup LJOJ-nya itu. Namun pagi itu postingan si admin LJOJ itu terasa lain...

      "Kepada para langganan jamu online-ku...
Aku mau cuti dulu jualan jamunya ya, selama beberapa hari.
Aku mau pulang kampung. Ada keperluan yang cukup penting.
Makasih untuk semuanya..." 

      Banyak pertanyaan dari anggota grup, tapi Jumi sudah berencana untuk tidak memberi peluang jawaban kepada mereka. Dia akan menjelaskannya nanti setelah balik lagi.

      Seiring cutinya Jumi, Zidan pun tak ada lagi komen-komennya di grup LJOJ itu. Biasanya dia adalah orang yang paling aktif candai Jumi.

      Hingga satu bulan berlalu...

      Tiba-tiba postingan Jumi muncul lagi di grup LJOJ yang mulai sepi akibat ditinggalkannya itu...

      "Salam semuanya... 
      Aku datang lagi. 
     Aku bawa berita gembira nih, sebagai oleh-oleh dari kampung halamanku.
     Yaitu... aku sudah menikah lagi.
     Sama siapa ayo?
     Ialah sama orang yang ada di grup ini...
     Mas Zidan !!!"
     "Kok ga ngundang, mbak?" komen seorang anggota.
      "Kan lagi PPKM, mas," balas Jum.

      Jumi kemudian memposting empat foto dari acara pernikahannya yang sederhana itu. Salah satunya terlihat Zidan sedang mengucapkan ijab kabul pernikahannya dengan Jumi, yang nama aslinya ialah Jumila Mulyani Indah.

       Setelah pernikahannya dengan Zidan itu, Jumi tak terlihat lagi keliling jualan jamunya. Ia dan Zidan standby melayani di toko saja. Meskipun demikian, para pelanggannya banyak yang datang, terutama yang tergabung dalam grup LJOJ-nya itu.

                           **********end


No comments:

Post a Comment