Aku tersesat menuju hatimu
Beri aku jalan yang indah
Izinkan ku lepas penatku
tuk sejenak lelap di bahumu
Dapatkah selamanya kita besama
menyatukan perasaan kau dan aku
Semoga cinta kita kekal abadi
sesampainya akhir nanti selamanya
Tentang cinta yang datang perlahan
Membuatku takut kehilangan
Ku titipkan cahaya terang
tak padam didera goda dan masa
“Aku udah bosen banget nih denger lagu ini. Di rumah, di kampus, di kebon, di pemancingan, di jalan…” ujar Ragil sambil garuk-garuk kepala tak gatal.
“Terus di mana lagi?” reaksi Arjuna tak ambil pusing keluhan temannya itu.
“Ya hampir di tiap tempat sama kamu, ga jauh dari lagu itu melulu yang aku denger.”
“Itu tandanya, supaya kamu bisa hapal.”
“Buat apa?”
“Supaya kamu jadi ikutan baper. Hehe…”
Ragil jadi berpikir, jangan-jangan si Arjuna ini lagi baper sama seseorang, seseorang cewek maksudnya. Sering sekali dia memutar lagu Tentang Rasa milik Astrid itu.
“Emangnya kamu lagi menuju hati siapa sih?” tanya Ragil kemudian.
“Ga ada kok,” jawab Arjuna santai.
“Masa sih?”
“Feeling aku cuma seneng aja sama lagu itu.”
“Ga percaya aku.”
“Udah, konsen nyetir aja. Kapan kita sampe di lokasi?”
“Tuh sedikit lagi di depan.”
Lima menit kemudian jazz silver metallic yang mereka berdua tunggangi sudah sampai di tujuan. Arjuna turun duluan, dan Ragil mencari tempat parkir yang pas. Ragil mengambil posisi parkir di sisi jalan dekat pagar rumah seseorang yang memiliki halaman luas ke arah jalan. Kebetulan saat itu ada seorang ibu yang sedang menyapu…
“Assalamu’alaikum… Permisi, bu. Aku numpang parkir di sini ya, bu?” ujar Ragil sambil mengangguk.
“Wa’alaikumussalam… Silahkan. Mau pada ke mana?” jawab si ibu ramah.
“Mau lihat-lihat sawah, bu,” jelas Arjuna.
“O mau beli sawah gitu?” tanya si ibu.
“Bukan, bu. Cuma survey untuk bikin skripsi.”
“O jadi kalian mahasiswa?”
“Iya, bu.”
Arjuna dan Ragil kemudian berlalu menuju area pesawahan yang terhampar luas itu, yang sebenarnya sudah terlihat dari tempat parkir mobilnya itu. Sebelah utaranya berbatasan dengan pegunungan. Mereka berdua tidak turun langsung ke pematang sawah, hanya berdiri di bawah sebuah pohon yang rindang di sisi jalan desa yang bersebelahan dengan area pesawahan itu.
Saat itu matahari berada di titik 90 derajat sore hari. Merupakan saat yang pas untuk jalan-jalan di waktu sore seperti itu, karena sinar matahari sudah melemah daya panasnya.
“Aku udah lama sekali baru lihat lagi pemandangan seperti ini…” ujar Arjuna datar sambil melepaskan pandangannya ke arah petak-petak sawah yang sudah ditanami pohon padi yang kira-kira berumur satu bulan.
“Pemandangan yang alami…” timpal Ragil tak kalah harunya.
“Nih kalo pagi hari hawanya pasti seger bener, karena oksigennya bener-bener murni, ga tercampur oleh polusi udara seperti di perkotaan,” lanjut Arjuna merasa yakin.
“Apalagi kalo ditambah adanya bidadari seperti itu tuh…” canda Ragil sambil mengisyaratkan telunjuknya ke arah seorang perempuan yang hendak lewat.
“Apaan sih kamu?”
“Tuh lihat!”
Seorang perempuan dari arah berlawanan hendak lewat di sisi jalan di mana Arjuna dan Ragil berdiri. Tampilannya nyaris seusia mereka berdua. Saat posisinya sudah sejajar…
“Assalamu’alaikum, ukhti…” sapa Arjuna memberanikan diri.
“Wa’alaikumussalam…” balas perempuan itu sekilas.
“Ukhti, boleh tanya?” tanya Arjuna, membuat perempuan itu menghentikan langkahnya.
“Ada apa?” tanya balik perempuan itu.
“Kenalan dulu, namaku Arjuna,” ujar Arjuna.
“Aku Ragil,” timpal Ragil.
“Mm, aku Cindra,” ucap perempuan itu.
Kemudian…
“Aku mau tanya, kapan panen padi di pesawahan ini?” lanjut Arjuna.
“Sekitar tiga bulan lagi,” jawab Cindra simpel.
“Kok bisa tau ya?”
“Kan keluargaku mengelola sawah juga. Kamu punya sawah di area sini?”
“Ga sih.”
“Lantas?”
“Aku ke sini cuma untuk survey lapangan aja sebagai bahan pembuatan skripsi.”
“Mm, jadi kalian berdua ini mahasiswa? Bisa tau area pesawahan di sini?”
“Ragil yang tau. Katanya dia pernah lewat sini.”
Obrolan mereka mulai mengarah ke titik-temu yang dimaksud. Perlahan keakraban mulai terjalin…
“Kuliah di mana?” tanya Cindra.
“IAIN Gorontalo, bareng sama Ragil jurusan Ekonomi dan Bisnis,” jawab Arjuna.
“Aku juga kuliah di situ, tapi jurusan Ilmu Tarbiyah,” aku Cindra.
“Kok kita ga pernah ketemu ya?” sambut Ragil.
“Mungkin karena kita beda jurusan kali,” jawab Cindra.
Jeda sejenak. Obrolan mereka makin menemukan titik persamaan, hingga tak lagi canggung untuk mengeluarkan kata-kata.
“Rumah kamu di sekitar sini, Cin?” tanya Arjuna.
“Iya. Tuh yang ada mobil. Tapi itu bukan mobil aku, entah punya siapa, tadi ga ada di situ,” jawab Cindra sambil menunjuk ke arah yang dimaksud itu.
“O itu mobil aku. Tapi Ragil tadi udah minta izin sama seorang ibu di situ.”
“Mungkin itu ibuku.”
“Ga mengganggu parkir di situ, kan?”
“Ga apa kok. Lagian jalan desa ini ga rame kendaraan lalu-lalang.”
Arjuna sangat senang bisa berkenalan dengan Cindra. Sebab, dengan demikian Cindra nantinya bisa dijadikan sebagai salah satu obyek wawancara untuk bahan skripsinya itu, yang berkaitan dengan pembahasan perekonomian dan pertanian masyarakat.
“Ga keberatan kan kalo nanti aku minta bantuan kamu mencari sumber-sumber untuk skripsiku itu dari warga sekitar sini dan aparat desanya?” ujar Arjuna penuh harap.
“Ga kok, selama aku bisa. Sesama mahasiswa kita harus saling membantu, apalagi kita satu kampus. Siapa tau aku juga nanti butuh bantuan kamu. Hehehe…” sahut Cindra dengan senang hati.
“Siap! Makasih, Cin.”
“Sama-sama.”
Seiring matahari yang terus turun menuju peraduannya, dan lembayung merah mulai membayang di langit barat, Arjuna dan Ragil meninggalkan desa yang berada di ujung Bolaang Itang Barat itu, setelah pamit pada Cindra dan ibunya serta beberapa warga yang ada di situ.
***
Di sepanjang perjalanan pulang, Ragil tanpa disuruh lagi menyetel alunan Tentang Rasa milik Astrid itu. Arjuna tak komen apa-apa. Hingga sampai di bait…
Tentang cinta yang datang perlahan
Membuatku takut kehilangan
Ku titipkan cahaya terang
tak padam didera goda dan masa
“Sepertinya kamu udah ga tersesat lagi nih, Jun,” sindir Ragil sambil menoleh sekilas.
“Maksudnya?” sahut Arjuna seperti kurang mengerti.
“Yaa… Sebab, kamu sekarang perlahan udah menemukan jalan yang indah. Hehe…” jelas Ragil terkekeh.
“Bicara kamu kok nyomot-nyomot kata-kata lagu itu sih?”
“Seperti itulah kenyataan yang aku saksikan sekarang.”
“Maksudnya berkaitan dengan Cindra, gitu?”
“Ya pahami ajalah sendiri…”
“Yang jelas sih, aku udah menemukan jalan untuk sumber-sumber pembuatan skripsiku itu.”
“Sekalian, Jun…”
“Apanya, Gil?”
“Tentang rasa…”
“Masih terlalu dini, Gil. Biarin aja berjalan apa adanya. Aku harus konsen pada tugasku dulu.”
“Oke, pak bupati!”
“Hush! Apa-apaan sih kamu?”
“Ya bapaknya bupati, anaknya juga harus jadi bupati lah…”
“Yang penting bagiku, nikmat apapun yang aku terima, aku harus bisa mensyukurinya.”
“Setuju! Aamiin…”
***
Sejak pertemuan dengan Cindra beberapa hari yang lalu di area pesawahan itu, hati Arjuna selalu terusik ingin menelpon Cindra. Arjuna masih bisa menahan diri. Tapi malam ini, rasanya ia harus bisa bicara dengan Cindra.
Setelah tersambung dan berbalas salam, obrolan pun mengalir seiring debaran hati yang masih malu-malu…
“Besok ada kelas ga kamu di kampus, Cin?” ucap Arjuna hati-hati.
“Mm, ada,” jawab Cindra penuh tanya dalam hati.
“Bisa ga nanti kita ketemuan di kantin?”
“Bisa sih. Tapi… Ada yang marah ga nanti?”
“Siapa yang marah?”
“Ya pacar kamu lah…”
“Ga bakalan ada.”
“Sungguh?”
“Bener! Tapi, gimana dengan kamu?”
“Sama.”
“Berarti, kita sama jomblo ya?”
Mereka berdua tertawa bareng dalam telpon.
Merasa tak ada lagi yang penting, Arjuna menyudahi komunikasinya. Hati mereka sama berdebar menunggu pertemuan besok.
***
Siang itu di kantin kampus…
Arjuna dan Cindra terlihat duduk-duduk santai bersama mahasiswa dan mahasiswi lainnya, setelah selesai menjalankan tugas kelas masing-masing. Namun sesaat kemudian…
“O ini oleh-oleh dari kunjungan di pesawahan itu ?!” suara Nely agak keras di belakang Arjuna, membuat suasana kantin sedikit tegang.
“Kamu ini apa-apaan sih, Nel? Bikin orang pada kaget!” sungut Arjuna kesal.
“Kamu akhir-akhir ini susah banget ditemuinya sih, Jun?” rengek Nely tak peduli dengan sikap Arjuna yang mangkel dengan kehadirannya itu.
“Aku kan lagi sibuk ngurusin skripsiku,” jelas Arjuna masih dengan mimik kesal.
“Tapi ga segitunya menghindar dari aku dong!”
“Siapa yang menghindar? Kamu ini kebanyakan baper!”
Sementara itu, Cindra terlihat menahan perasaannya dalam diam yang penuh makna. Ada kecewa yang merembes ke dalam hatinya terhadap Arjuna.
“Kenalin, Cin, ini Nely,” ujar Arjuna kemudian dengan sikap serba salah.
“Aku Nely, pacar Arjuna,” ucap Nely menyodorkan tangannya diiringi senyum sinis.
“Cindra,” sambut Cindra dengan hati tertusuk-tusuk.
Perasaan Arjuna kacau luar biasa. Dia membayangkan, hati Cindra pasti terpukul dengan kehadiran Nely yang mendadak itu. Yang pada akhirnya, Cindra pamit untuk pergi. Arjuna tak bisa menahannya.
Malam harinya, Arjuna coba menelpon Cindra. Sampai beberapa kali, Cindra tak mengangkatnya. Arjuna semakin yakin, kalau Cindra kecewa dengan pertemuan di kantin siang itu.
***
Esok harinya, Arjuna nekad berangkat menuju rumah Cindra seorang diri dengan jazz metallic-nya, tanpa mengajak Ragil teman setianya sekaligus sebagai sopirnya. Beruntung dia bisa bertemu dengan Cindra.
“Cin, maafkan tentang kejadian kemaren itu ya…” ujar Arjuna seperti memelas.
“Ga apa kok,” jawab Cindra dengan sikap tak acuh.
“Tolong kamu bisa bersikap netral,” harap Arjuna.
“Itu urusan kamu dengan Nely, ga ada hubungannya sama aku. Aku kan bukan apa-apa kamu kok,” balas Cindra berusaha tenang.
“Aku mohon kamu mau memahaminya tentang keteranganku ini, Cin,” ucap Arjuna seperti orang yang mengemis.
Sebentar Arjuna menarik nafas untuk menenangkan detak jantungnya…
“Nely itu adalah sepupuku,” lanjut Arjuna serius. “Aku tinggal di rumahnya selama kuliah di sini. Nely itu bukan pacarku, sebagaimana yang dia bilang itu. Aku menganggapnya sebagai saudaraku, karena bapaknya adalah pamanku. Walaupun aku dan dia selalu bertemu dan dekat dengannya setiap hari, tapi perasaanku ga bisa mencintainya sebagai pacar.”
Arjuna menarik nafas lagi…
“Pamanku ini sangat akrab sama aku,” lanjut Arjun lagi. “Beliau bekerja sebagai salah seorang anggota DPRD di Bolaang Mongondow Barat. Beliaulah yang meminta aku untuk kuliah di sini, sekalian menemani Nely yang tak punya kakak dan adik itu. Seolah-olah aku dianggapnya sebagai anak laki-lakinya. Begitulah, Cin…”
“Tadi udah aku bilang, bahwa itu urusan kamu…” tegas Cindra.
“Iya, Cin. Tapi…”
“Ga usah pusing dengan diriku, Jun. Itu hak kamu siapapun pacar kamu. Toh aku bukan siapa-siapa kamu kok.”
“Tapi, aku pengen kamu memandang aku sebagai orang yang ga punya pacar, gitu.”
Sesaat kemudian, ada brio pink berhenti sejajar di belakang jazz Arjuna. Pintunya tebuka. Dua orang keluar dari dalamnya. Nely dan Ragil.
Arjuna berdecak kesal dan menggelengkan kepala memandang kehadiran mereka berdua. Dan, entah seberapa sumpeknya perasaan Cindra saat itu, tentunya.
“Jadi ini tempatnya…?” oceh Nely dengan suara khasnya yang cempreng.
“Udah, udah…” tahan Arjuna. “Nanti kita bicara di sana.”
Arjuna kemudian menggiring Nely dan Ragil ke sisi jalan dekat pinggir sawah, tempat di mana pertama kali Arjuna datang dan memandangi petak-petak sawah beberapa hari yang lalu bersama Ragil di bawah sebuah pohon yang rindang itu.
“Nel, hari ini aku tegaskan lagi, dan aku mohon kamu berhenti berharap terus tentang diriku!” ujar Arjuna tandas.
“Tega kamu, Jun,” ucap Nely berlinang air mata.
“Kita ini saudara dekat, Nel. Selama ini aku menganggapmu sebagai adik. Sehingga aku merasa hambar buat cinta sama kamu!”
“Tapi, Jun, saudara sepupu itu kan boleh saling menikah.”
“Iya, aku tahu. Tapi, posisi kamu sebagai adik dalam diriku sangat kuat. Jadi manalah mungkin aku mencintai adikku sebagai pacar.”
“Sedih aku, Jun…”
“Coba buka lebar mata hati kamu, bahwa banyak laki-laki yang bisa mencintai diri kamu dengan tulus.”
“Aku gak punya pilihan lain, Jun.”
“Kamu ga sadar ya, kalo selama ini ada laki-laki yang sangat berharap jadi pacar kamu?”
“Siapa, Jun?”
“Orangnya ada di sini.”
“Kamu?”
“Bukan aku. Ragil tuh!”
“Ragil?”
Nely menoleh ke arah Ragil yang sedang asyik memandangi petak-petak sawah yang terhampar di hadapannya.
“Ragil itu orangnya baik,” lanjut Arjuna. “Aku tau banyak tentang dia. Selama ini dia mencintai kamu. Sekarang silahkan kamu ngobrol sama dia. Aku mau menemui Cindra lagi…”
“Jun, aku pengen nangis di pundakmu sebentar,” pinta Nely sendu.
“Malu dilihat orang,” tolak Arjun halus. “Ngobrol aja sana sama Ragil.”
“Iya,” angguk Nely sambil memandangi kepergian Arjuna.
Setelah kepergian Arjuna, Nely dan Ragil ngobrol tentang perasaan mereka berdua…
“Gil, emang kamu suka sama aku?” tanya Nely membuat Ragil seperti orang tertembak peluru.
“Iya sih,” jawab Ragil sedikit gugup.
“Kok kamu ga pernah bilang?”
“Kan kamu lagi sibuk ngejar-ngejar Arjun. Masa sih aku menghalangi orang yang cinta sama bosku. Ga enaklah…”
“Tapi dia ga bisa cinta sama aku, Gil.”
“Kamu berusaha ngertiin dialah. Terhadap sepupu memang terkadang merasa sebagai saudara kandung, sehingga untuk bisa saling cinta itu terasa hambar. Bener kata Arjun itu.”
“Mungkin aku harus melupakan cinta sama dia ya.”
“Berusahalah, walaupun mungkin awalnya terasa berat.”
“Mau ga mau, harus aku coba.”
“Insya Alloh, bisa…”
“Makasih kamu udah mencintaiku.”
“Mungkin udah tertulis seperti itu dalam hatiku.”
“Kita pulang duluan yuk.”
“Oke…”
Ragil dan Nely beranjak meninggalkan tempat duduknya di atas rerumputan sisi jalan tepi sungai itu. Kemudian pamit pada Cindra dan Arjuna untuk pulang. Brio pink itu meluncur meninggalkan tempat parkirnya dengan kendali stir dipegang oleh Ragil.
Sementara itu, Arjuna belum menyelesaikan obrolannya dengan Cindra…
“Aku berharap, mereka berdua udah jadian…” gumam Arjun setelah Nely dan Ragil pergi.
“Yaah, aku sih mesti bilang apa…” sahut Cindra datar. “Karena memang aku ga tau apa-apa tentang urusan kalian.”
“Setidaknya, ga ada lagi orang yang mengusik aku dengan kamu,” jelas Arjun lega.
“Mengusik aku dan kamu? Emangnya aku dan kamu ada hubungan apa?” tanya Cindra menohok.
Arjuna bingung mendapat pertanyaan seperti itu. Karena dia juga sadar, bahwa memang antara dirinya dengan Cindra belum ada hubungan apa-apa yang special. Bertemu saja nyaris baru dua minggu yang lalu. Sepertinya ada yang keceplosan dari ucapannya itu. Apa mungkin dia sudah baper sama Cindra?
“Yaa… Hubungan pertemanan lah…” lanjut Arjun dalam kebingungannya.
“Kamu belum pernah add aku kok,” ujar Cindra mengambangkan arah obrolan.
“Kayak di facebook aja, Cin.”
“Karena emang pertemanan itu adalah istilah di facebook.”
“Iya, aku tau. Tapi kan kita udah kenalan dua minggu yang lalu.”
“Itu kan perkenalan untuk urusan skripsi.”
“Jadi, aku mesti kenalan lagi untuk urusan yang lainnya, gitu? Misalnya… tentang rasa?
“Terserah kamu…”
Arjuna merasa ada peluang untuk menuju hati Cindra. Sepertinya saat ini adalah jalan yang indah untuk terus masuk ke dalam ruang hati Cindra yang terdalam. Mungknkah sekarang dia harus menembak Cindra? Menembak hati dan perasaannya? Mungkinkah…?!
Sementara Cindra tenang-tenang saja. Ataukah ia sedang menunggu reaksi Arjuna selanjutnya? Atau mungkin ia ingin mempermainkan perasaan Arjuna dengan sikap diamnya itu?
“Mm… Gimana kalo kita…” lanjut Arjun tak langsung mengenai obyeknya.
“Kita udahan dulu deh ngobrolnya. Maaf ya. Soalnya sebentar lagi zuhur. Setelah itu, aku ada pengajian di majelis,” balas Cindra menghentikan obrolan.
“Oke, oke…” sahut Arjun sigap.
“Maaf sekali lagi ya?”
“Ga apa kok. Kalo gitu aku pamit dulu ya…”
Setelah mengucapkan salam, Arjuna meluncur bersama jazz metallic-nya meninggalkan rumah Cindra, dengan bertumpuk harapan dalam hatinya untuk bisa kembali lagi dan menjadi bagian dari penghuni di dalamnya.
Sepanjang perjalanan pulang, terjadi monolog dalam hati Arjuna. Kenapa tadi dia tidak langsung saja menembak hati Cindra, bahwa dirinya suka sama gadis Bolaang Itang itu?
Arjuna tetap merasa optimis. Karena dia sudah mendapatkan jalan yang indah menuju hati Cindra. Setidaknya, tak ada pancaran penolakan dari raut wajah Cindra itu.
***
Setibanya di rumah…
“Junaaa…!” sambut Nely sambil berlari kecil mendekat.
“Iyaaa…” sahut Arjun sambil turun dari mobil.
“Gimana dengan Cindra?” tanya Nely memancing.
“Apanya?” jawab Arjun tak mengerti.
“Pedekate-nya.”
“Biasa aja.”
“Udah jadian belom?”
“Jadian apa?”
“Ya jadi pacarmu dong!”
“Aku cuma ada urusan pembuatan skripsi aja.”
“Ga usah nifak deh, Jun. Aku udah tau dari Ragil kok.”
“Ya lantas mau apa?”
“Aku siap bantu kamu deh, ya jadi mediator gitu, sebagai bukti permintaan maafku padamu dan juga Cindra.”
“Terserah, kalo kamu memang udah ngerti keadaannya.”
“Aku sekarang udah menyadari, bahwa aku harus berpikir panjang ke depan, dan aku harus mencintai orang yang cinta sama aku. Aku memilih Ragil.”
“Baguslah…”
Arjuna mengacak-acak rambut di atas kening Nely, sebagai pertanda rasa senangnya dengan perubahan sikap pada diri sepupunya itu. Lalu mereka berdua berjalan beriringan meninggalkan kuda besi metallic sementara di halaman luar sebelum masuk ke kandangnya.
Malam harinya Arjuna telepon Cindra. Setelah mengucapkan salam dan basa-basi seperlunya…
“Alhamdulillah, urusan Nely udah beres. Dia udah jadian sama Ragil,” ujar Arjun merasa senang.
“Ya lalu apa hubungannya sama aku?” balas Cindra diiringi ketawa kecil.
“Kali aja kita juga bisa seperti mereka berdua…” jawab Arjun malu-malu.
“Ah, ga jelas,” balas Cindra berdebar.
“Gini aja, aku kirim sebuah lantunan syair untuk mewakili perasaanku saat ini ya?”
“Silahkan aja…”
Arjuna kemudian mengirmkan Tentang Rasa milik Astrid itu. Selama 4 menit kurang lebih Cindra menyimaknya…
“Cukup menyentuh perasaan syairnya,” komentar Cindra jujur.
“Bisa jadi wakil buat aku ya?” tanya Arjun penasaran.
“Semoga cinta kita kekal abadi, sesampainya akhir nanti selamanya…”
“Eh, kamu bisa menirunya. Ulangi dong!”
“Udah ah, cukup sekali aja. Hehe…”
“Berarti… Aku ga tersesat lagi menuju hatimu ya?”
“Mmm…”
“Diam itu sama dengan setuju lho.”
“Insya Alloh.”
“Aamiin…”
Tak terasa, waktu berjalan sudah jauh menuju malam yang larut. Mereka kemudian memutuskan komunikasi via teleponnya. Berharap, segalanya berjalan lancar…
***
Selanjutnya beberapa hari ke depan…
Arjuna dan Cindra membiarkan hati mereka berdua menyatu dalam perasaan yang sama. Terjalin dalam iktan cinta yang padu, untuk menuju singgasana pelaminan yang didambakan. Semoga…
**********
Keterangan tokoh untuk FTV:
Arjuna
- Kalem, tenang, tegas
- Anak seorang bupati di Jawa
Cindra
- Lugu, jujur, syar’i
- Putri seorang agamawan Bolaang Itang
Nely
- Cengeng, temperamen, cempreng
- Putri seorang anggota DPRD
Ragil
- Polos, sederhana, humoris
- Anak seorang pedagang kaya
NB: Mohon maaf bila ada kesamaan:
nama, titel, karakter, tempat dan hal pribadi lainnya.
Semua itu hanya kebetulan semata.
***********
No comments:
Post a Comment