Aku tersesat menuju hatimu
Beri aku jalan yang indah
Izinkan ku lepas penatku
tuk sejenak lelap di bahumu
Dapatkah selamanya kita besama
menyatukan perasaan kau dan aku
Semoga cinta kita kekal abadi
sesampainya akhir nanti selamanya
Tentang cinta yang datang perlahan
Membuatku takut kehilangan
Ku titipkan cahaya terang
tak padam didera goda dan masa
“Aku udah bosen banget nih denger lagu ini. Di rumah,
di kampus, di kebon, di pemancingan, di jalan…” ujar Ragil sambil garuk-garuk
kepala tak gatal.
“Terus di mana lagi?” reaksi Arjuna tak ambil pusing
keluhan temannya itu.
“Ya hampir di tiap tempat sama kamu, ga jauh dari lagu
itu melulu yang aku denger.”
“Itu tandanya, supaya kamu bisa hapal.”
“Buat apa?”
“Supaya kamu jadi ikutan baper. Hehe…”
Ragil jadi berpikir, jangan-jangan si Arjuna ini lagi baper sama seseorang, seseorang cewek
maksudnya. Sering sekali dia memutar lagu Tentang Rasa milik Astrid itu.
“Emangnya kamu lagi menuju hati siapa sih?” tanya Ragil kemudian.
“Ga ada kok,” jawab Arjuna santai.
“Masa sih?”
“Feeling aku
cuma seneng aja sama lagu itu.”
“Ga percaya aku.”
“Udah, konsen nyetir aja. Kapan kita sampe di lokasi?”
“Tuh sedikit lagi di depan.”
Lima menit kemudian jazz silver metallic yang mereka berdua tunggangi
sudah sampai di tujuan. Arjuna turun duluan, dan Ragil mencari tempat parkir
yang pas. Ragil mengambil posisi parkir di sisi jalan dekat pagar rumah
seseorang yang memiliki halaman luas ke arah jalan. Kebetulan saat itu ada
seorang ibu yang sedang menyapu…
“Assalamu’alaikum…
Permisi, bu. Aku numpang parkir di sini ya, bu?” ujar Ragil sambil mengangguk.
“Wa’alaikumussalam…
Silahkan. Mau pada ke mana?” jawab si ibu ramah.
“Mau lihat-lihat sawah, bu,” jelas Arjuna.
“O mau beli sawah gitu?” tanya si ibu.
“Bukan, bu. Cuma survey
untuk bikin skripsi.”
“O jadi kalian mahasiswa?”
“Iya, bu.”
Arjuna dan Ragil kemudian berlalu menuju area
pesawahan yang terhampar luas itu, yang sebenarnya sudah terlihat dari tempat
parkir mobilnya itu. Sebelah utaranya berbatasan dengan pegunungan. Mereka
berdua tidak turun langsung ke pematang sawah, hanya berdiri di bawah sebuah
pohon yang rindang di sisi jalan desa yang bersebelahan dengan area pesawahan
itu.
Saat itu matahari berada di titik 90 derajat sore
hari. Merupakan saat yang pas untuk jalan-jalan di waktu sore seperti itu,
karena sinar matahari sudah melemah daya panasnya.
“Aku udah lama sekali baru lihat lagi pemandangan
seperti ini…” ujar Arjuna datar sambil melepaskan pandangannya ke arah
petak-petak sawah yang sudah ditanami pohon padi yang kira-kira berumur satu
bulan.
“Pemandangan yang alami…” timpal Ragil tak kalah
harunya.
“Nih kalo pagi hari hawanya pasti seger bener, karena
oksigennya bener-bener murni, ga tercampur oleh polusi udara seperti di
perkotaan,” lanjut Arjuna merasa yakin.
“Apalagi kalo ditambah adanya bidadari seperti itu
tuh…” canda Ragil sambil mengisyaratkan telunjuknya ke arah seorang perempuan
yang hendak lewat.
“Apaan sih kamu?”
“Tuh lihat!”
Seorang perempuan dari arah berlawanan hendak lewat di
sisi jalan di mana Arjuna dan Ragil berdiri. Tampilannya nyaris seusia mereka
berdua. Saat posisinya sudah sejajar…
“Assalamu’alaikum,
ukhti…” sapa Arjuna memberanikan diri.
“Wa’alaikumussalam…”
balas perempuan itu sekilas.
“Ukhti, boleh tanya?” tanya Arjuna, membuat perempuan
itu menghentikan langkahnya.
“Ada apa?” tanya balik perempuan itu.
“Kenalan dulu, namaku Arjuna,” ujar Arjuna.
“Aku Ragil,” timpal Ragil.
“Mm, aku Cindra,” ucap perempuan itu.
Kemudian…
“Aku mau tanya, kapan panen padi di pesawahan ini?” lanjut
Arjuna.
“Sekitar tiga bulan lagi,” jawab Cindra simpel.
“Kok bisa tau ya?”
“Kan keluargaku mengelola sawah juga. Kamu punya sawah
di area sini?”
“Ga sih.”
“Lantas?”
“Aku ke sini cuma untuk survey lapangan aja sebagai bahan pembuatan skripsi.”
“Mm, jadi kalian berdua ini mahasiswa? Bisa tau area
pesawahan di sini?”
“Ragil yang tau. Katanya dia pernah lewat sini.”
Obrolan mereka mulai mengarah ke titik-temu yang
dimaksud. Perlahan keakraban mulai terjalin…
“Kuliah di mana?” tanya Cindra.
“IAIN Gorontalo, bareng sama Ragil jurusan Ekonomi dan
Bisnis,” jawab Arjuna.
“Aku juga kuliah di situ, tapi jurusan Ilmu Tarbiyah,”
aku Cindra.
“Kok kita ga pernah ketemu ya?” sambut Ragil.
“Mungkin karena kita beda jurusan kali,” jawab Cindra.
Jeda sejenak. Obrolan mereka makin menemukan titik
persamaan, hingga tak lagi canggung untuk mengeluarkan kata-kata.
“Rumah kamu di sekitar sini, Cin?” tanya Arjuna.
“Iya. Tuh yang ada mobil. Tapi itu bukan mobil aku,
entah punya siapa, tadi ga ada di situ,” jawab Cindra sambil menunjuk ke arah yang
dimaksud itu.
“O itu mobil aku. Tapi Ragil tadi udah minta izin sama
seorang ibu di situ.”
“Mungkin itu ibuku.”
“Ga mengganggu parkir di situ, kan?”
“Ga apa kok. Lagian jalan desa ini ga rame kendaraan
lalu-lalang.”
Arjuna sangat senang bisa berkenalan dengan Cindra.
Sebab, dengan demikian Cindra nantinya bisa dijadikan sebagai salah satu obyek
wawancara untuk bahan skripsinya itu, yang berkaitan dengan pembahasan
perekonomian dan pertanian masyarakat.
“Ga keberatan kan kalo nanti aku minta bantuan kamu
mencari sumber-sumber untuk skripsiku itu dari warga sekitar sini dan aparat
desanya?” ujar Arjuna penuh harap.
“Ga kok, selama aku bisa. Sesama mahasiswa kita harus
saling membantu, apalagi kita satu kampus. Siapa tau aku juga nanti butuh bantuan
kamu. Hehehe…” sahut Cindra dengan senang hati.
“Siap! Makasih, Cin.”
“Sama-sama.”
Seiring matahari yang terus turun menuju peraduannya,
dan lembayung merah mulai membayang di langit barat, Arjuna dan Ragil
meninggalkan desa yang berada di ujung Bolaang Itang Barat itu, setelah pamit
pada Cindra dan ibunya serta beberapa warga yang ada di situ.
***
Di sepanjang perjalanan pulang, Ragil tanpa disuruh
lagi menyetel alunan Tentang Rasa milik Astrid itu. Arjuna tak komen
apa-apa. Hingga sampai di bait…
Tentang cinta yang datang perlahan
Membuatku takut kehilangan
Ku titipkan cahaya terang
tak padam didera goda dan masa
“Sepertinya kamu udah ga tersesat lagi nih, Jun,” sindir Ragil sambil menoleh sekilas.
“Maksudnya?” sahut Arjuna seperti kurang mengerti.
“Yaa… Sebab, kamu sekarang perlahan udah menemukan jalan
yang indah. Hehe…” jelas Ragil terkekeh.
“Bicara kamu kok nyomot-nyomot kata-kata lagu itu
sih?”
“Seperti itulah kenyataan yang aku saksikan sekarang.”
“Maksudnya berkaitan dengan Cindra, gitu?”
“Ya pahami ajalah sendiri…”
“Yang jelas sih, aku udah menemukan jalan untuk
sumber-sumber pembuatan skripsiku itu.”
“Sekalian, Jun…”
“Apanya, Gil?”
“Tentang rasa…”
“Masih terlalu dini, Gil. Biarin aja berjalan apa
adanya. Aku harus konsen pada tugasku dulu.”
“Oke, pak bupati!”
“Hush! Apa-apaan sih kamu?”
“Ya bapaknya bupati, anaknya juga harus jadi bupati
lah…”
“Yang penting bagiku, nikmat apapun yang aku terima,
aku harus bisa mensyukurinya.”
“Setuju! Aamiin…”
***
Sejak pertemuan dengan Cindra beberapa hari yang lalu
di area pesawahan itu, hati Arjuna selalu terusik ingin menelpon Cindra. Arjuna
masih bisa menahan diri. Tapi malam ini, rasanya ia harus bisa bicara dengan
Cindra.
Setelah tersambung dan berbalas salam, obrolan pun mengalir seiring debaran hati yang masih
malu-malu…
“Besok ada kelas ga kamu di kampus, Cin?” ucap Arjuna
hati-hati.
“Mm, ada,” jawab Cindra penuh tanya dalam hati.
“Bisa ga nanti kita ketemuan di kantin?”
“Bisa sih. Tapi… Ada yang marah ga nanti?”
“Siapa yang marah?”
“Ya pacar kamu lah…”
“Ga bakalan ada.”
“Sungguh?”
“Bener! Tapi, gimana dengan kamu?”
“Sama.”
“Berarti, kita sama jomblo ya?”
Mereka berdua tertawa bareng dalam telpon.
Merasa tak ada lagi yang penting, Arjuna menyudahi komunikasinya.
Hati mereka sama berdebar menunggu pertemuan besok.
***
Siang itu di kantin kampus…
Arjuna dan Cindra terlihat duduk-duduk santai bersama
mahasiswa dan mahasiswi lainnya, setelah selesai menjalankan tugas kelas
masing-masing. Namun sesaat kemudian…
“O ini oleh-oleh dari kunjungan di pesawahan itu ?!”
suara Nely agak keras di belakang Arjuna, membuat suasana kantin sedikit
tegang.
“Kamu ini apa-apaan sih, Nel? Bikin orang pada kaget!”
sungut Arjuna kesal.
“Kamu akhir-akhir ini susah banget ditemuinya sih,
Jun?” rengek Nely tak peduli dengan sikap Arjuna yang mangkel dengan
kehadirannya itu.
“Aku kan lagi sibuk ngurusin skripsiku,” jelas Arjuna
masih dengan mimik kesal.
“Tapi ga segitunya menghindar dari aku dong!”
“Siapa yang menghindar? Kamu ini kebanyakan baper!”
Sementara itu, Cindra terlihat menahan perasaannya
dalam diam yang penuh makna. Ada kecewa yang merembes ke dalam hatinya terhadap
Arjuna.
“Kenalin, Cin, ini Nely,” ujar Arjuna kemudian dengan
sikap serba salah.
“Aku Nely, pacar Arjuna,” ucap Nely menyodorkan
tangannya diiringi senyum sinis.
“Cindra,” sambut Cindra dengan hati tertusuk-tusuk.
Perasaan Arjuna kacau luar biasa. Dia membayangkan,
hati Cindra pasti terpukul dengan kehadiran Nely yang mendadak itu. Yang pada
akhirnya, Cindra pamit untuk pergi. Arjuna tak bisa menahannya.
Malam harinya, Arjuna coba menelpon Cindra. Sampai
beberapa kali, Cindra tak mengangkatnya. Arjuna semakin yakin, kalau Cindra
kecewa dengan pertemuan di kantin siang itu.
***
Esok harinya, Arjuna nekad berangkat menuju rumah
Cindra seorang diri dengan jazz metallic-nya, tanpa mengajak Ragil teman
setianya sekaligus sebagai sopirnya. Beruntung dia bisa bertemu dengan Cindra.
“Cin, maafkan tentang kejadian kemaren itu ya…” ujar
Arjuna seperti memelas.
“Ga apa kok,” jawab Cindra dengan sikap tak acuh.
“Tolong kamu bisa bersikap netral,” harap Arjuna.
“Itu urusan kamu dengan Nely, ga ada hubungannya sama
aku. Aku kan bukan apa-apa kamu kok,” balas Cindra berusaha tenang.
“Aku mohon kamu mau memahaminya tentang keteranganku
ini, Cin,” ucap Arjuna seperti orang yang mengemis.
Sebentar Arjuna menarik nafas untuk menenangkan detak
jantungnya…
“Nely itu adalah sepupuku,” lanjut Arjuna serius. “Aku
tinggal di rumahnya selama kuliah di sini. Nely itu bukan pacarku, sebagaimana
yang dia bilang itu. Aku menganggapnya sebagai saudaraku, karena bapaknya
adalah pamanku. Walaupun aku dan dia selalu bertemu dan dekat dengannya setiap
hari, tapi perasaanku ga bisa mencintainya sebagai pacar.”
Arjuna menarik nafas lagi…
“Pamanku ini sangat akrab sama aku,” lanjut Arjun lagi.
“Beliau bekerja sebagai salah seorang anggota DPRD di Bolaang Mongondow Barat.
Beliaulah yang meminta aku untuk kuliah di sini, sekalian menemani Nely yang
tak punya kakak dan adik itu. Seolah-olah aku dianggapnya sebagai anak
laki-lakinya. Begitulah, Cin…”
“Tadi udah aku bilang, bahwa itu urusan kamu…” tegas
Cindra.
“Iya, Cin. Tapi…”
“Ga usah pusing dengan diriku, Jun. Itu hak kamu
siapapun pacar kamu. Toh aku bukan siapa-siapa kamu kok.”
“Tapi, aku pengen kamu memandang aku sebagai orang
yang ga punya pacar, gitu.”
Sesaat kemudian, ada brio pink berhenti
sejajar di belakang jazz Arjuna.
Pintunya tebuka. Dua orang keluar dari dalamnya. Nely dan Ragil.
Arjuna berdecak kesal dan menggelengkan kepala memandang
kehadiran mereka berdua. Dan, entah seberapa sumpeknya perasaan Cindra saat
itu, tentunya.
“Jadi ini tempatnya…?” oceh Nely dengan suara khasnya
yang cempreng.
“Udah, udah…” tahan Arjuna. “Nanti kita bicara di
sana.”
Arjuna kemudian menggiring Nely dan Ragil ke sisi
jalan dekat pinggir sawah, tempat di mana pertama kali Arjuna datang dan
memandangi petak-petak sawah beberapa hari yang lalu bersama Ragil di bawah
sebuah pohon yang rindang itu.
“Nel, hari ini aku tegaskan lagi, dan aku mohon kamu
berhenti berharap terus tentang diriku!” ujar Arjuna tandas.
“Tega kamu, Jun,” ucap Nely berlinang air mata.
“Kita ini saudara dekat, Nel. Selama ini aku
menganggapmu sebagai adik. Sehingga aku merasa hambar buat cinta sama kamu!”
“Tapi, Jun, saudara sepupu itu kan boleh saling
menikah.”
“Iya, aku tahu. Tapi, posisi kamu sebagai adik dalam
diriku sangat kuat. Jadi manalah mungkin aku mencintai adikku sebagai pacar.”
“Sedih aku, Jun…”
“Coba buka lebar mata hati kamu, bahwa banyak
laki-laki yang bisa mencintai diri kamu dengan tulus.”
“Aku gak punya pilihan lain, Jun.”
“Kamu ga sadar ya, kalo selama ini ada laki-laki yang
sangat berharap jadi pacar kamu?”
“Siapa, Jun?”
“Orangnya ada di sini.”
“Kamu?”
“Bukan aku. Ragil tuh!”
“Ragil?”
Nely menoleh ke arah Ragil yang sedang asyik
memandangi petak-petak sawah yang terhampar di hadapannya.
“Ragil itu orangnya baik,” lanjut Arjuna. “Aku tau
banyak tentang dia. Selama ini dia mencintai kamu. Sekarang silahkan kamu
ngobrol sama dia. Aku mau menemui Cindra lagi…”
“Jun, aku pengen nangis di pundakmu sebentar,” pinta
Nely sendu.
“Malu dilihat orang,” tolak Arjun halus. “Ngobrol aja
sana sama Ragil.”
“Iya,” angguk Nely sambil memandangi kepergian Arjuna.
Setelah kepergian Arjuna, Nely dan Ragil ngobrol tentang
perasaan mereka berdua…
“Gil, emang kamu suka sama aku?” tanya Nely membuat
Ragil seperti orang tertembak peluru.
“Iya sih,” jawab Ragil sedikit gugup.
“Kok kamu ga pernah bilang?”
“Kan kamu lagi sibuk ngejar-ngejar Arjun. Masa sih aku
menghalangi orang yang cinta sama bosku. Ga enaklah…”
“Tapi dia ga bisa cinta sama aku, Gil.”
“Kamu berusaha ngertiin dialah. Terhadap sepupu memang
terkadang merasa sebagai saudara kandung, sehingga untuk bisa saling cinta itu
terasa hambar. Bener kata Arjun itu.”
“Mungkin aku harus melupakan cinta sama dia ya.”
“Berusahalah, walaupun mungkin awalnya terasa berat.”
“Mau ga mau, harus aku coba.”
“Insya Alloh, bisa…”
“Makasih kamu udah mencintaiku.”
“Mungkin udah tertulis seperti itu dalam hatiku.”
“Kita pulang duluan yuk.”
“Oke…”
Ragil dan Nely beranjak meninggalkan tempat duduknya
di atas rerumputan sisi jalan tepi sungai itu. Kemudian pamit pada Cindra dan
Arjuna untuk pulang. Brio pink itu meluncur meninggalkan tempat
parkirnya dengan kendali stir dipegang oleh Ragil.
Sementara itu, Arjuna belum menyelesaikan obrolannya
dengan Cindra…
“Aku berharap, mereka berdua udah jadian…” gumam Arjun
setelah Nely dan Ragil pergi.
“Yaah, aku sih mesti bilang apa…” sahut Cindra datar.
“Karena memang aku ga tau apa-apa tentang urusan kalian.”
“Setidaknya, ga ada lagi orang yang mengusik aku
dengan kamu,” jelas Arjun lega.
“Mengusik
aku dan kamu? Emangnya aku dan kamu ada hubungan apa?” tanya Cindra menohok.
Arjuna bingung mendapat pertanyaan seperti itu. Karena
dia juga sadar, bahwa memang antara dirinya dengan Cindra belum ada hubungan
apa-apa yang special. Bertemu saja
nyaris baru dua minggu yang lalu. Sepertinya ada yang keceplosan dari ucapannya
itu. Apa mungkin dia sudah baper sama Cindra?
“Yaa… Hubungan pertemanan lah…” lanjut Arjun dalam
kebingungannya.
“Kamu belum pernah add
aku kok,” ujar Cindra mengambangkan arah obrolan.
“Kayak di facebook
aja, Cin.”
“Karena emang pertemanan
itu adalah istilah di facebook.”
“Iya, aku tau. Tapi kan kita udah kenalan dua minggu
yang lalu.”
“Itu kan perkenalan untuk urusan skripsi.”
“Jadi, aku mesti kenalan lagi untuk urusan yang
lainnya, gitu? Misalnya… tentang rasa?
“Terserah kamu…”
Arjuna merasa ada peluang untuk menuju hati Cindra.
Sepertinya saat ini adalah jalan yang indah
untuk terus masuk ke dalam ruang hati Cindra yang terdalam. Mungknkah sekarang
dia harus menembak Cindra? Menembak hati dan perasaannya?
Mungkinkah…?!
Sementara Cindra tenang-tenang saja. Ataukah ia sedang
menunggu reaksi Arjuna selanjutnya? Atau mungkin ia ingin mempermainkan
perasaan Arjuna dengan sikap diamnya itu?
“Mm… Gimana kalo kita…” lanjut Arjun tak langsung
mengenai obyeknya.
“Kita udahan dulu deh ngobrolnya. Maaf ya. Soalnya
sebentar lagi zuhur. Setelah itu, aku
ada pengajian di majelis,” balas Cindra menghentikan obrolan.
“Oke, oke…” sahut Arjun sigap.
“Maaf sekali lagi ya?”
“Ga apa kok. Kalo gitu aku pamit dulu ya…”
Setelah mengucapkan salam, Arjuna meluncur bersama jazz
metallic-nya meninggalkan rumah
Cindra, dengan bertumpuk harapan dalam hatinya untuk bisa kembali lagi dan
menjadi bagian dari penghuni di dalamnya.
Sepanjang perjalanan pulang, terjadi monolog dalam hati Arjuna. Kenapa tadi
dia tidak langsung saja menembak hati
Cindra, bahwa dirinya suka sama gadis Bolaang Itang itu?
Arjuna tetap merasa optimis. Karena dia sudah
mendapatkan jalan yang indah
menuju hati Cindra. Setidaknya, tak
ada pancaran penolakan dari raut wajah Cindra itu.
***
Setibanya di rumah…
“Junaaa…!” sambut Nely sambil berlari kecil mendekat.
“Iyaaa…” sahut Arjun sambil turun dari mobil.
“Gimana dengan Cindra?” tanya Nely memancing.
“Apanya?” jawab Arjun tak mengerti.
“Pedekate-nya.”
“Biasa aja.”
“Udah jadian belom?”
“Jadian
apa?”
“Ya jadi pacarmu dong!”
“Aku cuma ada urusan pembuatan skripsi aja.”
“Ga usah nifak
deh, Jun. Aku udah tau dari Ragil kok.”
“Ya lantas mau apa?”
“Aku siap bantu kamu deh, ya jadi mediator gitu, sebagai bukti permintaan maafku padamu dan juga
Cindra.”
“Terserah, kalo kamu memang udah ngerti keadaannya.”
“Aku sekarang udah menyadari, bahwa aku harus berpikir
panjang ke depan, dan aku harus mencintai orang yang cinta sama aku. Aku
memilih Ragil.”
“Baguslah…”
Arjuna mengacak-acak rambut di atas kening Nely,
sebagai pertanda rasa senangnya dengan perubahan sikap pada diri sepupunya itu.
Lalu mereka berdua berjalan beriringan meninggalkan kuda besi metallic sementara di halaman luar
sebelum masuk ke kandangnya.
Malam harinya Arjuna telepon Cindra. Setelah
mengucapkan salam dan basa-basi
seperlunya…
“Alhamdulillah,
urusan Nely udah beres. Dia udah jadian sama Ragil,” ujar Arjun merasa senang.
“Ya lalu apa hubungannya sama aku?” balas Cindra
diiringi ketawa kecil.
“Kali aja kita juga bisa seperti mereka berdua…” jawab
Arjun malu-malu.
“Ah, ga jelas,” balas Cindra berdebar.
“Gini aja, aku kirim sebuah lantunan syair untuk
mewakili perasaanku saat ini ya?”
“Silahkan aja…”
Arjuna kemudian mengirmkan Tentang Rasa milik Astrid
itu. Selama 4 menit kurang lebih Cindra menyimaknya…
“Cukup menyentuh perasaan syairnya,” komentar Cindra
jujur.
“Bisa jadi wakil buat aku ya?” tanya Arjun penasaran.
“Semoga cinta
kita kekal abadi, sesampainya akhir nanti selamanya…”
“Eh, kamu bisa menirunya. Ulangi dong!”
“Udah ah, cukup sekali aja. Hehe…”
“Berarti… Aku ga tersesat
lagi menuju hatimu ya?”
“Mmm…”
“Diam itu
sama dengan setuju lho.”
“Insya Alloh.”
“Aamiin…”
Tak terasa, waktu berjalan sudah jauh menuju malam
yang larut. Mereka kemudian memutuskan komunikasi via teleponnya. Berharap,
segalanya berjalan lancar…
***
Selanjutnya beberapa hari ke depan…
Arjuna dan Cindra membiarkan hati mereka berdua
menyatu dalam perasaan yang sama. Terjalin dalam iktan cinta yang padu, untuk
menuju singgasana pelaminan yang didambakan. Semoga…
**********
Keterangan tokoh untuk FTV:
Arjuna
-
Kalem, tenang,
tegas
-
Anak seorang bupati
di Jawa
Cindra
-
Lugu, jujur, syar’i
-
Putri seorang
agamawan Bolaang Itang
Nely
-
Cengeng,
temperamen, cempreng
-
Putri seorang
anggota DPRD
Ragil
-
Polos, sederhana,
humoris
-
Anak seorang
pedagang kaya
NB: Mohon maaf bila ada kesamaan:
nama, titel, karakter, tempat
dan hal pribadi lainnya.
Semua itu hanya kebetulan
semata.
***********