8 PIHAK YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT
PEMBUKAAN
Zakat
adalah merupakan bagian dari infaq, yakni mengeluarkan
(membelanjakan) sekian persen (yang sudah ditentukan) dari harta yang kita
miliki. Sebagaimana firman Alloh:
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghoib, menidirikan
sholat, dan menginfaqkan dari rezeki yang diberikan kepada mereka.” (QS.
Al-Baqoroh: 3).
Yang mana kemudian, infaq berupa zakat
itu prosesinya harus diambil (diminta, didatangi ke tempat objek zakat),
sesuai firman Alloh:
“Ambillah zakat dari harta mereka, yakni untuk
membersihkan (harta) dan mensucikan (jiwa) mereka dengan zakat itu. Dan
berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu memberikan ketenangan kepada mereka.
Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103).
Adapun orang yang mengeluarkan zakat disebut
sebagai muzzaki, dan orang yang menerima zakat disebut sebagai mustahiq.
TUJUAN ZAKAT
Adapun tujuan inti dari zakat ialah
untuk membersihkan harta (dari hak-hak orang lain yang bercampur
di dalamnya) dan mensucikan jiwa (dari sifat-sifat: tamak, rakus,
serakah, egois, kikir dan tak mau peduli dengan orang lain), sebagaimana sudah
dijelaskan dalam QS. At-Taubah: 103 itu.
Adapun tujuan-tujuan lain yang mengiringi zakat
yang berkaitan dengan interaksi kehidupan di antaranya ialah:
·
Agar tidak ada jurang pemisah di antara orang-orang kaya dan
orang-orang miskin.
·
Agar tidak ada kecemburuan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
·
Agar tidak hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati
fasilitas-fasilitas yang enak dalam perjalanan hidup ini.
·
Agar terhindar dari pinjaman-pinjaman yang berbunga (riba).
·
Agar membantu menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan kehidupan di
tengah-tengah umat.
“... Agar harta itu tidak hanya beredar di antara
orang-orang kaya saja di kalangan kamu...” (QS. Al-Hasyr: 7).
“Alloh menghancurkan riba dan mengembangkan sedekah, dan
Alloh tidak mencintai orang-orang kafir lagi berdosa.” (QS. Al-Baqoroh: 276).
TENTANG 8 A S H N A F MUSTAHIQ ZAKAT
Ketentuan 8 ashnaf mustahiq zakat
yang sudah baku operasionalnya ialah berdasarkan firman Alloh ini:
“Sesungguhnya zakat itu adalah untuk (1) orang-orang faqir, (2)
orang miskin, (3) ‘amil zakat, (4) orang mu’allaf, (5) budak
sahaya (ar-riqob), (6) orang yang berhutang
(al-ghorim), (7) orang di jalan Alloh (fii
sabilillah), (8) dan ibnu sabil. (Itulah)
ketetapan dari Alloh. Dan Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.
At-Taubah: 60).
Mari ikuti pembahasan sederhananya satu per satu sebagai
materi “pembuka”di bawah ini...
ASHNAF KESATU: A L – F A Q I R
Al-Faqir
ialah yang membutuhkan atau berkehendak terhadap
sesuatu yang berguna bagi hidupnya, sementara ia dalam keadaan payah
atau tak berdaya, lalu ia meminta kepada pihak yang bisa
memenuhinya, sebagaimana firman Alloh ini:
“Maka dia (Musa) memberi minum (ternak-ternak) kedua
perempuan itu, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh, lalu berkata: ‘Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku kepada sesuatu yang Engkau turunkan kepadaku berupa
kebaikan (makanan) sangat membutuhkan (faqir)’.” (QS. Al-Qoshosh: 24).
Secara bahasa, faqir artinya menggali.
Pada umumnya, yang digali itu ialah tanah. Dalam hal ini,
tentu ada yang dicari, seperti: air, logam atau benda-benda lainnya yang
berguna untuk menutupi kebutuhan hidup ini.
Maka, selama orang yang berusaha atau menggali
tanah itu belum bisa menutupi kebutuhan hidupnya, berartia ia termasuk orang
yang faqir, yang berhak mendapatkan bagian zakat.
Untuk menambah lebih detilnya, makna faqir
ialah “sudah berusaha tapi belum bisa menutupi kebutuhan”.
ASHNAF KEDUA: A L – M A S A K I N
Al-masakin
(miskin) ialah orang yang menahan (diri). Pemahaman lebih
luasnya, ialah orang yang menahan diri dari sesuatu yang diingininya karena
ia tidak memiliki kecukupan kemampuan untuk bisa mendapatkannya.
Ada 2 (dua) kriteria miskin berdasarkan
firman Alloh ini:
“Dan orang-orang yang di dalam harta mereka ada
kepemilikan yang sudah diketahui (secara umum). (Yakni) bagi orang (miskin)
yang meminta dan (bagi orang miskin) yang mengharamkan (dirinya tidak mau
meminta).” (QS. Al-Ma’arij: 24-25).
1.
Orang miskin yang meminta (as-saa’il), ialah orang miskin yang memperlihatkan
kebutuhannya kepada orang lain dengan harapan mendapat pemberian dari orang
lain itu. Bahkan saat ini banyak orang-orang yang memanfaatkan kemiskinannya
dengan berkeliling kesana-kemari meminta-minta kepada orang lain. Parahnya
lagi, kemiskinan dijadikan sebagai profesi untuk mencari nafkah sehari-hari.
Hal ini sudah di luar batas kewajaran sebagai orang miskin!
NB:
Terlalu memperlihatkan kebutuhan-kebutuhan sebagai
orang miskin, maka kesannya seperti orang yang tidak punya keinginan untuk
merubah diri dan keluar dari lingkaran kemiskinan, yang akhirnya bisa
menimbulkan anggapan bahwa status kemiskinan “diperdagangkan” atau dijadikan
profesi untuk mendapatkan belas kasihan atau bantuan orang lain.
2.
Orang miskin yang tidak meminta (al-mahruum), ialah orang miskin yang mengharamkan dirinya
untuk meminta-minta. Ia sembunyikan kebutuhan-kebutuhannya kepada orang lain,
mungkin karena rasa malu, atau demi menjaga kehormatan dirinya, atau tidak
ingin melibatkan orang lain ke dalam kesusahan dirinya.
NB:
Terlalu menyembunyikan kemiskinan agar orang lain
tidak banyak tahu, maka akan timbul anggapan bahwa ia tidak butuh pertolongan
orang lain, yang akhirnya orang lain pun menjadi sungkan untuk memberikan
bantuan yang sebenarnya ia butuhkan untuk menutupi kebutuhan hidupnya.
Maka, kedua jenis orang miskin tersebut berhak
mendapatkan bagian zakat. Adapun zakat yang dibutuhkan oleh
mereka ialah zakat yang mampu melepaskan mereka dari kemiskinan.
Jadi, zakat itu benar-benar menjadi solusi buat
mengatasi kemiskinan, bukan sebagai “hiburan” yang hanya berupa nasi bungkus
atau beras yang banyaknya cuma 1 atau 2 liter saja.
ASHNAF KETIGA: A L - ‘ A M I L
‘Amil
ialah orang yang bekerja.
Dalam hal zakat, ‘amil ialah orang yang
menangani urusan zakat: dari mulai pengumpulannya (dari muzzaki)
sampai kepada penyalurannya (kepada mustahiq).
Untuk zaman sekarang, banyak istilah-istilah yang
menggantikan posisi kata ‘amil itu, seperti: panitia zakat, badan
zakat, lembaga zakat dan yang lain-lainnya, yang tujuannya ialah untuk
memudahkan para muzzaki dalam menyalurkan zakat-nya hingga sampai
kepada para mustahiq-nya.
Para petugas ‘amil zakat, harus dicermati juga status
ekonominya.
Bila ‘amil sebagai orang yang mampu (kaya), maka
ia berposisi sebagai orang yang wajib zakat (muzzaki), di samping
ia mendapat bagian dari pengumpulan harta zakat.
Dan, bila ‘amil itu sebagai orang yang dhu’afa
(miskin, faqir), maka ia tak wajib zakat, melainkan ia
sebagai mustahiq (penerima zakat), di samping ia juga mendapat
bagian dari pengumpulan harta zakat itu.
Adapun zakat-zakat yang diterima oleh ‘amil
ialah berupa: zakat tijaroh (perdagangan), zakat maal (harta,
emas, hewan), zakat rikaz (barang temuan), zakat fitrah (pada
bulan Romadhon), zakat tumbuh-tumbuhan (sewaktu panen), zakat
pendapatan (gaji, bonus), zakat property (komisi) dan zakat-zakat
lainnya sesuai perkembangan zaman.
Di samping zakat, ‘amil juga menerima
penitipan berupa: sedekah, ‘amal jariyah, dan infaq-infaq lainnya
sebagai amal sholeh dari orang-orang yang memiliki kelebihan harta (kaya).
Setelah harta zakat terkumpul, maka ‘amil
membaginya menjadi 8 (delapan) bagian, kemudian menyerahkannya kepada 8
ashnaf mustahiq zakat itu (yang di dalamnya termasuk ‘amil).
Bagian tiap-tiap ashnaf ialah 1/8 (satu per delapan) dari seluruh harta zakat
yang terkumpul. Misalnya harta zakat yang terkumpul itu senilai
8.000.000, maka prosesi alokasinya ialah 8.000.000 : 8 = 1.000.000. Jadi bagian
tiap ashnaf ialah 1.000.000.
Ketika harta zakat itu sudah sampai ke tangan
para mustahiq-nya secara benar, maka selesailah tugas ‘amil.
ASHNAF KEEMPAT: A L – M U A L L A F
Al-muallaf
ialah orang dijinakkan (hatinya). Yang dimaksud di sini, ialah
orang yang merasa jinak (nyaman) atau tertarik pada agama Islam.
Dan ketika ia masuk Islam, maka ia disebut muallaf.
“Dan Dia (Alloh) menjinakkan antara hati mereka.
Walaupun kamu menginfakkan seluruh (kekayaan) yang ada di bumi, pastilah kamu
tidak akan bisa menjinakkan antara hati mereka, akan tetapi Alloh yang
menjinakkan antara mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa Maha Bijaksana.” (QS.
Al-Anfal: 63).
Pemberian zakat kepada orang yang baru masuk
Islam ialah bertujuan agar ia merasakan kebaikan dalam Islam, sehingga ia bisa
lebih dekat lagi dengan Islam, yang pada akhirnya keberadaan Islam menjadi
benar-benar kokoh dalam dirinya.
Di zaman awal penyebaran Islam di jazirah Arab,
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam ketika membagikan harta ghonimah,
beliau sengaja melebihkan pemberiannya kepada para muallaf itu, yakni
agar hati mereka semakin nyaman dalam Islam.
Dengan merasa jinak (nyaman) dalam Islam, diharapkan
para muallaf itu aktif mengkaji ajaran Islam, agar mereka mengerti
makna-makna dan tujuan-tujuan ajaran Islam. Nantinya, di samping keyakinan
Islam kokoh dalam diri mereka, mereka juga bisa menerangkan Islam kepada orang
lain.
Dengan demikian, mereka tidak hanya masuk ke dalam
Islam, tapi juga memahami ajarannya. Sehingga, tidak ada modus-modus
memanfaatkan status muallaf demi mendapatkan materi lewat
bantuan-bantuan atau sumbangan dari orang-orang muslim lain yang sudah lebih
dulu berada dalam Islam.
ASHNAF KELIMA: A R – R I Q O B
Ar-Riqob
ialah orang budak. Yakni, orang yang berada dalam
penguasaan orang lain.
Pada zaman jahiliyah dulu, adanya perbudakan di tanah
Arab salah satunya adalah melalui proses jual-beli. Maka, jika si budak itu
ingin bebas (merdeka) dari penguasaan majikannya, ia harus menebus dirinya
dengan sejumlah pembayaran yang sesuai dengan pembelian majikannya, atau ada
orang mampu lain yang mau
membebaskannya.
Pada zaman setelah Islam turun di jazirah Arab, maka
salah satu orang atau pihak yang wajib membebaskan budak, ialah sebagaimana
tercantum dalam ayat Al-Quran ini...
“Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh
seorang mu’min yang lain, kecuali karena salah sasaran (tidak sengaja). Dan
barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tidak sengaja, maka ia harus membebaskan
seorang budak (ar-riqob) yang beriman dan membayar denda yang diserahkan
kepada keluarganya (yang terbunuh itu), kecuali bila mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah (membebaskan, tidak menuntut)...” (QS. An-Nisa: 92).
Sebagai contoh, Al-Quran menjelaskan tentang
perbudakan jauh sebelum zaman Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam...
“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah,
yakni beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya (kepada
Yusuf).” (QS. Yusuf: 20).
Adapun untuk zaman sekarang, perbudakan sudah tidak
ada lagi di tengah-tengah kehidupan masyarakat umum. Karena, setiap negera di
dunia melarang ada jual-beli manusia.
Lalu, apakah ar-riqob (orang budak) dalam ayat
60 surah At-Taubah itu sudah tidak berlaku lagi untuk zaman sekarang?
Tidaklah demikian!
Perbudakan dalam bentuk jual-beli manusia memang sudah
tidak ada. Tapi, inti perbudakan dalam bentuknya yang lain masih terus berjalan
hingga hari kiamat.
Mari telusuri asal-usul adanya perbudakan...
Faktor utama adanya perbudakan adalah karena faktor
ekonomi yang lemah (miskin). Mungkin dia sendiri yang menjual dirinya untuk
mendapatkan sejumlah materi, atau dia dijual oleh orang lain sementara dia
tidak bisa melawannya.
Nah, berdasarkan faktor utama di atas, maka bisa
dilihat kondisi saat ini, bahwa banyak orang-orang yang berada dalam status
ekonomi yang lemah, sehingga mereka menjadi sasaran yang empuk untuk
diintimidasi, ditindas, dan dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu
oleh pihak-pihak yang merasa kuat.
Selain itu, status ekonomi yang lemah, bisa menyeret
mereka ke dalam lingkaran permainan para rentenir (lintah darat / tukang riba),
dari pada kebutuhan hidup tidak tercukupi. Yang akhirnya, mereka bisa
terbelenggu oleh hutang dan bunga yang terus membengkak, hingga mereka tidak
lagi mampu untuk melunasinya. Untuk selanjutnya, bisa dibayangkan akibatnya...!
Dengan demikian, itulah jenis perbudakan model baru di
zaman modern ini !!!
Oleh karena itu, Al-Quran memberikan konsep agar “menganjurkan
memberi makan orang miskin”. Artinya, ialah selalu peduli untuk “menolong
orang miskin (ekonomi lemah)”.
“Dan terhadap orang (miskin) yang meminta-minta, maka
janganlah kamu mengusirnya.” (QS. Adh-Dhuha: 10).
Sebagai konsekwensi bagi orang-orang yang tidak mau
peduli untuk menolong orang miskin (lemah ekonomi), maka mereka dikategorikan
sebagai...
- Pendusta agama (kadzdzibu bid-diin).
- Orang-orang yang celaka meskipun mereka sholat.
- Baca QS. Al-Maa’uun: 1-7.
Jadi, konsep membebaskan perbudakan (ar-riqob)
untuk zaman kini, ialah menolong orang-orang dhu’afa (lemah),
orang-orang miskin (serba kekurangan) dan orang-orang bermasalah yang
butuh bantuan agar mereka terbebas dari belenggu-belenggu yang
menyulitkan dalam kehidupannya dan agar terhindar dari orang-orang yang
ingin memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
ASHNAF KEENAM: A L – G H O R I M
Al-Ghorim
ialah orang yang memiliki hutang.
Bila orang yang memiliki hutang (ghorim) itu
tidak mampu lagi membayarnya (setelah melakukan usaha yang maksimal), maka ia
berhak menjadi mustahiq zakat untuk membayar hutangnya itu.
Bagaimana kriteria orang yang memiliki hutang (ghorim)
yang layak menjadi mustahiq zakat itu?
Tentunya, tidak semua orang yang punya hutang itu
layak jadi mustahiq zakat!
Dalam hal ini ada
d u a sasaran:
Pertama: Keadaan Si Ghorim
Karena adanya beban hutang, si ghorim tidak
mampu lagi menutupi kebutuhan hidup sehari-hari (terutama urusan makan dan
minum), maka layaklah ia menjadi mustahiq zakat.
Kedua: Posisi Hutang Si Ghorim
Selain keadaan dirinya sebagai mustahiq zakat,
posisi hutangnya pun bisa dibantu dengan dana zakat. Hanya saja, posisi
hutangnya itu harus ditelusuri lebih dulu latar-belakangnya: mengapa dan untuk
apa menghutang?
Hutang yang bisa dibantu oleh dana zakat ialah
hutang yang bersifat darurat (posisi terjepit, emergency) seperti
beberapa sebab penting di bawah ini:
·
Karena membiayai orang sakit.
·
Karena kelaparan.
·
Karena kehabaisan bekal (modal).
·
Karena terkena bencana alam (gunung meletus, gempa, banjir dan yang
lainnya).
·
Karena peperangan.
Adapun hutang yang didasari oleh kesengajaan (tidak
dalam posisi darurat, emergency), seperti: kredit barang (motor, mobil,
rumah dan yang lainnya), pinjam modal di bank, dan pinjaman-pinjaman berencana
lainnya (yang sifatnya bisa ditunda/ditangguhkan), maka tidaklah bisa dibantu
oleh dana zakat untuk pembayarannya. (Sebab, logikanya, jika ingin
terbebas dari hutang seperti itu, maka kembalikan saja barang-barang atau
pinjaman yang masih ada itu, atau bayar dengan agunan yang berupa tanah,
bangunan atau yang lainnya yang menjadi jaminan sewaktu transaksi
pinjam-meminjam itu).
Catatan:
Selama orang yang punya hutang itu masih mampu membayarnya, maka tidaklah boleh
dana zakat menanganinya hingga lunas.
Sebagai dalil acuan dalam masalah si ghorim ini
ialah firman Alloh ini:
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesulitan, maka
berilah tenggang waktu sampai dia mendapat kemudahan. Dan jika kamu (si pemberi
pinjaman) men-sedekah-kan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS.
Al-Baqoroh: 180).
Anjuran ber-sedekah (untuk membebaskan orang yang
punya hutang) dalam QS. Al-Baqoroh: 180 itu seiring dengan perintah zakat
(dalam QS. At-Taubah: 60 & 103) yang juga menggunakan kata “sedekah
(shodaqoh)”.
Catatan:
Hanya saja masih sangat disayangkan, para ‘amil zakat atau pengumpul-pengumpul
zakat lainnya (hingga hari ini) belum memandang dengan serius persoalan si ghorim
(pemilik hutang) ini dalam kaitannya dengan operasional dana zakat.
Penyebaran dana/harta zakat selalu dikonsentrasikan kepada faqir
dan miskin melulu.
ASHNAF KETUJUH: F I I S A B I L I L L A H
Fii sabilillah ialah di
jalan Alloh. Artinya, orang-orang yang berada di jalan Alloh
boleh mendapatkan zakat.
Siapa saja dan dalam hal apa ia berada di jalan
Alloh?
Intinya, tingkatan tertinggi fii sabilillah itu
ialah sebagaimana yang tersimpul dalam hadits di bawah ini...
“Orang yang berjuang demi meninggikan kalimat Alloh,
maka ia berada di jalan Alloh (fii sabilillah).” (Al-Hadits).
Di
samping itu, masuk juga ke dalam kategori fii sabilillah ialah
orang-orang yang...
- Membangun sarana ibadah (mesjid, musholla).
- Membangun sarana pendidikan (sekolah Islam, majelis Islam).
- Lapangan pekerjaan (toko Islam, bisnis Islam).
- Dan peluang-peluang lainnya yang diarahkan demi kepentingan menuju jalan Alloh.
Jadi, standar fii sabilillah ialah segala
aktifitas yang benar-benar langsung terkait dengan Alloh, yakni: niatnya,
prosesnya, tujuannya, kepentingannya, hasilnya dan yang lainnya.
Maka, orang yang aktif fii sabilillah, layaklah
ia mendapat bagian dari zakat, apalagi bila ia berada dalam kondisi
serba kekurangan.
ASHNAF KEDELAPAN: I B N U S A B I L
Ibnu sabil
ialah anak jalan. Artinya, ialah seorang anak yang berada dalam
sebuah perjalanan untuk suatu kepentingan yang baik.
Yang termasuk ke dalam ibnu sabil sebagai
sebuan acuan sesuai kondisi zaman sekarang di antaranya ialah...
- Anak pondokan (pesantren).
- Anak terlantar.
- Anak hilang.
- Anak pengamen.
Yang paling utama ialah anak yang sedang dalam proses
pendidikan Islam, baik itu anak yang berada di pondok pesantren atau pun anak
di sekolah Islam lainnya.
Dana zakat bukan hanya untuk membantu mereka
yang kekurangan bekal, uang makan, uang jajan, uang bayaran atau
kekurangan-kekurangan lainnya.
Akan tetapi, zakat menanggung semua biaya-biaya
mereka selama proses pendidikan di pondok atau sekolah Islam. Sehingga, proses
pendidikan mereka berjalan lancar, tanpa dibebani oleh tuntutan-tuntutan
bayaran ini-itu dan segala macam tetek-bengeknya yang membuat konsentrasi
mereka terganggu dalam belajar.
Kalau sudah begitu, maka tidak akan ada lagi anak-anak
yang keluyuran di jalanan, karena mereka sudah sibuk belajar tanpa beban
bayaran itu, alias gratis...!
K E S I M P U
L A N
Tulisan ini hanyalah sebagai “kunci pembuka” untuk
membuka jalan menuju pemahaman yang lebih luas lagi.
Penulis sangat menyadari, tulisan ini masih banyak
kekurangan-kekurangannya. Oleh karena itu, silahkan tambahkan yang kurang,
luruskan yang bengkok, dan kuatkan yang benar agar lebih memperkaya kajiannya
tentang masalah 8 ASHNAF ZAKAT ini.
Semoga ada kebaikan dan manfaat dari apa yang sudah
penulis sampaikan tersebut.
Wallohu a’lam bish-showab.
*****
NB: Silahkan Konsul dan titipkan zakat dengan menghubungi saya via ruang komentar di bawah artikel dalam blog ini.
Terimakasih 🙏.
No comments:
Post a Comment