Monday, July 26, 2021

CERPEN: "JAMU ONLINE YANG MENGGODA"

     
       Sebuah motor matic merah bertuliskan "princess" di bodinya dan di atas joknya terdapat sebuah kotak kayu bertuliskan "jamu", berhenti di depan rumah sebelah. Pengendaranya seorang perempuan berhelm merah juga, turun mendekati tetangga sebelah itu.

      Zidan mendengar tanya jawab mereka berdua, tapi tak jelas kata per katanya. Dan, tahu-tahu tetangga sebelah itu menunjuk ke arah rumahnya. Si pengendara matic merah princess itupun memutar badannya dan berjalan ke arah rumahnya yang berjarak hanya sekitar 10 meter.

       Beberapa menit kemudian...

      "Apakah ini rumah mas Zidan?" tanya perempuan itu.
      "Iya. Ada apa, mbak?" jawab Zidan penuh selidik.
       "Mas kan yang tadi pesen jamu kuat lewat WA?"
       "Jamu kuat?"

      Zidan benar-benar bingung! Dari tadi pagi ia belum buka hape, apalagi kirim pesan lewat WA. Pesan jamu kuat lagi.

      "Salah alamat kali, mbak," sanggah Zidan kemudian.
      "Ini kan blok E 10 nomer 18. Sesuai yang tertulis di WA nih," ujar perempuan itu sambil menyodorkan hapenya kepada Zidan.
      "Maaf, mbak, coba aku lihat nomer pengirimnya."
      "Silahkan..."

      Zidan lalu mencatat nomer si pemesan jamu kuat itu. Kemudian ia akurkan dengan nomer-nomer yang ada di dalam kontak hapenya. Dan, ternyata itu nomer punyanya Raydan. Sialan aku dikerjain, umpat Zidan dalam hati.

       Dugaan Zidan ternyata benar. Siapa lagi yang suka iseng-iseng seperti itu padanya, kalau bukan Raydan.

      "Oo... Ini nomer hape teman aku, mbak," jelas Zidan sambil memperlihatkannya kepada si mbak itu.
      "Kok bisa gitu ya...?" keluh si mbak seperti kecewa.
      "Biasa, mbak... Dia itu suka bercanda."
      "Masa sih aku dibercandain gitu?"
      "Dia bercandanya sama aku, mbak."
      "Yaa... Terus pesanan jamunya gimana?"
      "Tetap aku beli, mbak. Tenang aja."
      "Kepaksa toh?"
      "Ngga lho, mbak. Aku memang pecinta herbalis. Lihat aja tuh, di loster atas pintu banyak botol-botol bekas herbal yang aku konsumsi. Juga aku suka minum jamu."
      "Aku sih takut sampeyan kepaksa aja beli jamunya..."
      "Ngga toh, mbak."
      "Jamu kuat yo, mas?"
      "Kuat apa, mbak?"
      "Yo kuat buat istri toh, mas."
      "Hehe... Aku dah ora punya istri, mbak. Wis almarhumah."
      "Oo... Sampeyan jomblo toh  sa'iki (sekarang)?"
      "Ya gitulah..."
      "Jadi, mau jamu apa nih?"
      ”Jamu sehat aja deh."

      Selama si mbak jamu meracik jamunya, Zidan memperhatikan penampilannya. Terutama soal gayanya yang modis dan keren, layaknya bukan tukang jamu.  Bisiknya dalam hati sambil geleng-geleng kepala pelan...

      "Tukang jamu cintik gini ya. Pastinya banyak pelanggan laki-laki yang suka nih. Apa suaminya ga cemburu tuh..."

      Beberapa menit kemudian Zidan sudah meminum jamu sehat itu. Pahitnya lumayan terasa. 

     "Mantep bener paitnya..." komen Zidan sambil kercap-kercap.
      "Namanya jamu ga jauh dari pait, mas," balasnya diiringi senyum manis.

      Lalu Zidan mengalihkan pembicaraan sebentar. Ingin tahu sedikit tentang dirinya...

      "Mmm... Boleh tau, nama mbak siapa?" tanya Zidan santai.
      "Panggil aja Jumi. Semua langganan panggil seperti itu."
      "Sip, mbak."

      Sebelum Jumi melanjutkan ngider dagangannya ke para pelanggannya yang lain, Zidan memesan segelas jamu kuat buat Raydan dan sudah dibayarnya.

      "Rumahnya dari sini lurus. Belok kanan di perempatan. Terus belok kiri di pertigaan. Sebelum belok kanan di pertigaan arah keluar perumahan, di situ rumahnya, blok B nomer 3, pagar besi hitam," jelas Zidan tentang arah menuju rumah Raydan.
      "Nggih, mas..." angguk Jumi kemudian pamit pergi.

      Beberapa menit berlalu, Jumi sudah ada di depan rumah Raydan...

      "Permisi..." ujar Jumi di depan pagar.
      "Ada apa, mbak?" jawab Raydan dari dalam.
      "Mas Raydan ya?"
      "Iya aku sendiri."
      "Ini pesenan jamu dari mas Zidan buat mas Raydan katanya."
      "Bentar, mbak..."

      Raydan lalu menelpon seseorang...

      "Halo, Zidan..."
      "Udah sampe pesenannya, Ray?"
      "Kamu kan tau, aku ini ga suka minum jamu, Zid. Ga tahan paitnya!"
      "Sekali-kali lah minum yang pait. Baik kok buat kesehatan."
      "Iyaa... Tapi paitnya itu..."
      "Cobain dulu deh. Udah aku bayar kok."

      Zidan lalu menghubungi istrinya Raydan. Bertiga mereka terlibat percakapan dalam telepon...

      "Suruh tuh, teh, abangmu minum jamu..." suara Zidan sambil terkekeh.
      "Dia ga suka minum jamu, bang Zid," sahut istri Raydan.
      "Tau tuh Zidan, ada-ada aja..." timpal Raydan agak kesal.
      "Sekali-kali cobain minum yang pait. Sehat kok. Yang pesen duluan kan kamu, Ray. Udah lah minum aja. Kasian tuh mbak Jum nungguin..." tandas Zidan.

      Akhirnya, atas desakan istrinya, Raydan mau juga minum jamu, meskipun dia tak suka dengan rasa pahitnya. Dia sadar, ini senjata makan tuan bagi dirinya.

      ***

      Esoknya di pos depan rumah Raydan...

      "Seumur hidup, baru kemaren aku ngerasain lagi paitnya jamu..." ujar Ray sambil bergidik.
      "Kamu juga yang mengundang tukang jamu itu datang..." sahut Zidan dengan terkekeh.
      "Maksud aku sih supaya kamu bisa kenalan sama dia."
      "Emangnya Jum itu siapa?"
      "Nanti kamu bakal tau sendiri deh."
      "Kamu kenal dia di mana?"
      "Aku kenal dia dari temanku yang jadi langganannya."

       Ada rasa penasaran dalam hati Zidan  tentang diri Jumi itu. Kenapa Raydan sampai ingin memperkenalkannya? Tapi ia tak mau banyak tanya lagi sama Raydan. Ia akan mencari informasinya sendiri.

      ***

       Pagi Minggu...

       Saat Zidan membuka WA, tahu-tahu dirinya sudah berada di grup "Langganan Jamu Online Juminah (LJOJ)".

      Zidan menelusuri info grup-nya. Ia menemukan pembuatnya ialah Juminah, jumlah anggotanya 200 orang lebih.

      Zidan senyum-senyum sendirian. Ini baru tukang jamu berkemajuan, bisik hatinya.

      Dalam postingan grup LJOJ hari Minggu itu, Zidan dan Raydan disebut oleh Jumi. Tulis Jumi...

      "Halo mas @zidan, mas @raydan... Mau minum yang sehat pait ga nih pagi ini...”
      "Aku sih ga mau ah. Lidahku emoh. Aku jadi penyimak aja deh..." balas Raydan dengan emoji lidah ngelel.
      ”Boleh, mbak Jum," balas Zidan dengan emoji jempol tiga.
      "Aku datang ya..." jawab Jum, juga dengan emoji jempol.

      Zidan menutup WA-nya. Menemui Jum yang sebentar kemudian sudah ada di depan rumahnya.

      "Jamu sehat aja ya, mbak. Jangan jamu kuat. Ga punya lawannya soalnya. Hehehe..." ujar Zidan diiringi canda.
      "Iya, mas..." jawab Jum dengan senyum manis terkulum.

      Sesaat berlalu...

      "Langganan mbak Jum kebanyakan laki-laki ya, terlihat dari nama-nama mereka di grup LJOJ itu," ujar Zidan memulai obrolan.
      "Mereka suka minum jamu toh, mas,” jawab Jum santai.
      "Apa... Suamimu ga cemburu gitu...?"
      "Yo ga toh, mas."
      "Masa sih sebagai laki-laki normal...?"
      "Wong dia wis terkubur di alam sana kok."
      "Udah meninggal dunia?"
      "Iya, mas."
      "Sama."
      "Opo ne, mas?"
      "Jomblo e."
      "Sampeyan bisa aja, mas."

       Zidan dan Jum berdua tertawa. Sepertinya keakraban mulai terjalin di antara mereka berdua. Nampaknya ada rasa senang dari ekspresi di wajah mereka. Entah rasa apa dalam hati mereka...

      "Ga cape keliling tiap hari?" lanjut Zidan.
      "Dulu aku selalu di toko bersama suamiku,  menunggu langganan yang datang. Tapi setelah dia meninggal, aku coba keliling seperti ini. Sekedar refreshing kata orang sih, buat ngilangin kejenuhan di toko..." cerita Jum agak panjang.
      "Lantas sekarang siapa yang nungguin toko sampeyan?"
      "Ada pelayannya empat orang."

      Zidan makin terbuka mengorek kepribadian Juminah dan kehidupannya...

      "Ada niat nikah lagi?" tanya Zidan tak lepas dari canda.
      "Ga kepikiran, mas," jawab Jum malu-malu.
      "Kalau ada yang mau?"
      "Tergantung kecocokan, mas."

      Juminah tak bisa lebih lama lagi ngobrol dengan Zidan. Para pelanggan lain sudah pada menunggunya. Jum kemudian pamit.

      ***

      Di hari lain...

      "Siapa yang kangen sama aku...?" tulis Jum di grup LJOJ-nya. Maksudnya ialah yang kangen sama minum jamu-nya.
      "Akuuu...!" jawab para pelanggan yang kebanyakan laki-laki.
      "Zidan kangen tuh...!" tulis Raydan.
      "Lho kok dilempar ke mas Zidan, mas Ray?" balas Jum.
      "Dia takut sama istrinya, mbak...!" celetuk Zidan.
      "Maksud aku kan, kangen minum jamu aku, gitu toh. Jangan salah resepsi yo..."
      "Persepsi, mbak!"
      "Oh iyo. Keseleo aku. Hehe..."
      "Resepsi itu adalah acara makan-makan. Misalnya, di acara pernikahan antara dirimu sama aku. Hehehe..."
      "Ah, mas Zidan canda melulu. Dibaca banyak orang lho, mas."
       "Guyon kok."

       Beberapa anggota grup meng-amin-kan postingan Zidan itu. 

       Obrolan sedikit mulai bergeser...

      "Ada jamu tolak miskin ga, mbak?" tulis seorang anggota laki-laki yang lainnya.
      "Kalo jamune ga ada, mas. Tapi kalo mau nolak kemiskinan, ya seperti aku ini lho, kerja!" balas Jum.
      "Wis, mbak, ga usah kerja lagi. Nikah aja lah, mbak. Karo sopo iki...? Ya itu tadi... Mas Zidan!"
        "Wis, ah... Aku ga mau di-bully...!"

      Mungkin karena malu, Jumi sesaat kemudian permisi keluar dari obrolan, mau melanjutkan spreading-nya ke para langganan yang lainnya.

       ***

      Saat itu, menjelang magrib di tikungan keluar perumahan...

      Seorang ibu melambaikan tangannya agar Jumi menghentikan laju matic merahnya...

      "Heh, Jum! Sebaiknya kamu ga usah jualan jamu di perumahan ini lagi deh!" ucap si ibu dengan kasar, tanpa basa-basi lagi.
      "Lho, kenapa, bu?" tanya Jumi heran.
      "Kamu lama-lama bisa bawa resah rumah tangga orang banyak di sini!"
      "Bawa resah? Rumah tangga? Aku ga ngerti, Bu."
      "Yah! Contohnya rumah tangga aku!"
      "Ada apa sama rumah tangga ibu?"
      "Ya itu! Tiap pagi suami aku pengen minum jamu kamu terus! Aku curiga, jangan-jangan cuma pengen ketemu kamu aja!"
      "O itu... Aku kan jualan, bu. Siapa aja yang beli aku layani. Adapun urusan suami ibu, aku ga mau tau. Dan bukan alasan agar aku ga boleh jualan di sini."

      Dua orang ibu perumahan lainnya mendatangi Jumi dan si ibu itu...

      "Ada apa ini mbak Jumi dan Bu Mpong? Kelihatannya ada masalah nih?" tanya salah seorang ibu yang baru datang itu.
      "Ini... Aku dilarang oleh Bu Mpong itu, ga boleh jualan jamu lagi di sini," jelas Jumi.
      "Masalahnya aku khawatir ke depannya, Bu Huda," bela Bu Mpong kesal.
      "Khawatir kenapa, Bu Mpong?" tanya Bu Huda.
      "Suami-suami kita bisa tergoda sama dia. Alesannya minum jamu, padahal cuma pengen ketemu sama dia. Contohnya suami aku..." jawab Bu Mpong greget.
      "Oo... Itu mungkin cuma cemburunya Bu Mpong aja," sela Bu Sesi. "Suami aku buktinya sesudah sering minum jamu kuat mbak Jum ini, malah lebih perkasa, ga loyo lagi seperti sebelumnya."
      "Uhh! Yang kayak gitu mah ga usah diceritain, Bu Sesi," sergah Bu Huda.

      Beberapa ibu lainnya berdatangan lebih banyak lagi mengerubungi Jumi dan Bu Mpong. Mereka ingin tahu ada apa. Kebetulan istrinya RT, Bu Wasita, juga ikut hadir di situ.
      "Sekarang mah begini... Kita ga boleh melarang siapapun berjualan di sini, selama itu baik-baik aja dan ga mengganggu siapapun. Lagian, perumahan ini bukan milik pribadi kita. Namun aku ingatkan... Buat mbak Jumi, jangan suka tebar pesona di hadapan laki-laki, apalagi itu suami orang. Dan buat Bu Mpong, urusan suami ibu suka sama mbak Jum, itu urusan Bu Mpong berdua sama suami ibu, selama mbak Jum ini ga ada maen sama suami ibu. Nah, aku kira beres yah permasalahannya..." papar Bu Wasita panjang lebar.

      Jumi merasa berterimakasih kepada Bu Wasita yang sudah ikut menengahi permasalahannya dengan Bu Mpong. Tapi Bu Mpong nampak dari raut wajahnya tidak puas dengan keputusan yang disampaikan oleh Bu Wasita itu. Bagi Jumi, itu bukan masalah buatnya, selama yang ia lakukan itu berjalan baik-baik saja, tanpa ada niatan mengganggu siapapun.

      ***

      Pagi itu...

      Sebagaimana biasa, Jumi selalu mengawali postingan di grup LJOJ-nya itu. Namun pagi itu postingan si admin LJOJ itu terasa lain...

      "Kepada para langganan jamu online-ku...
Aku mau cuti dulu jualan jamunya ya, selama beberapa hari.
Aku mau pulang kampung. Ada keperluan yang cukup penting.
Makasih untuk semuanya..." 

      Banyak pertanyaan dari anggota grup, tapi Jumi sudah berencana untuk tidak memberi peluang jawaban kepada mereka. Dia akan menjelaskannya nanti setelah balik lagi.

      Seiring cutinya Jumi, Zidan pun tak ada lagi komen-komennya di grup LJOJ itu. Biasanya dia adalah orang yang paling aktif candai Jumi.

      Hingga satu bulan berlalu...

      Tiba-tiba postingan Jumi muncul lagi di grup LJOJ yang mulai sepi akibat ditinggalkannya itu...

      "Salam semuanya... 
      Aku datang lagi. 
     Aku bawa berita gembira nih, sebagai oleh-oleh dari kampung halamanku.
     Yaitu... aku sudah menikah lagi.
     Sama siapa ayo?
     Ialah sama orang yang ada di grup ini...
     Mas Zidan !!!"
     "Kok ga ngundang, mbak?" komen seorang anggota.
      "Kan lagi PPKM, mas," balas Jum.

      Jumi kemudian memposting empat foto dari acara pernikahannya yang sederhana itu. Salah satunya terlihat Zidan sedang mengucapkan ijab kabul pernikahannya dengan Jumi, yang nama aslinya ialah Jumila Mulyani Indah.

       Setelah pernikahannya dengan Zidan itu, Jumi tak terlihat lagi keliling jualan jamunya. Ia dan Zidan standby melayani di toko saja. Meskipun demikian, para pelanggannya banyak yang datang, terutama yang tergabung dalam grup LJOJ-nya itu.

                           **********end


Friday, July 16, 2021

CERPEN: "PETUALANGAN PANAS DI LEMBAH HITAM"


     "Cantik banget dia. Pantes kalo jadi primadona di komplek itu..." ujar seseorang kepada temannya sambil memperlihatkan foto seorang wanita di hapenya.
     "Mantep bener nih! Namanya siapa? Kamu udah cobain?" reaksi teman yang satunya lagi diiringi tatapan tajam.
     "Panggilannya Missy. Belom cobain sih..."
     "Gimana kalo malem ini kita ke sono ?!"
     "Bayarannya rada mahal!"
     "Ga masalah...!"

     Aku bisa mendengar dan memahami semua obrolan mereka berdua itu, sebab jaraknya antara aku dan mereka hanya terhalang oleh satu meja kosong.

     Rupanya kafe yang baru pertama kali aku kunjungi ini adalah tempat para pebisnis birahi berkumpul dan bertransaksi. Obrolan mereka memang yang terdengar hampir semuanya tentang kencan, rendevouz dan hal-hal yang menyenangkan biologis lainnya. 

      Aku tertarik dengan obrolan dua orang itu. Aku coba dekati mereka, barangkali ada informasi yang bisa aku manfaatkan...

     "Permisi, abang berdua..." ujarku sesopan mungkin.
     "Ada apa?" tanya salah seorang.
     "Boleh aku duduk di meja depan abang berdua ini?"
     "Silahkan aja..."

     Sesaat tak ada kata. Aku berusaha menyusun kata-kata sebaik mungkin agar mereka merasa nyaman dan akrab ngobrol dengan aku.

     "Kenalan dulu, bang. Aku Kelana," ujarku sambil menyodorkan tangan.
     "Gue Rebok, dan temen gue ini Jones," jawab salah seorang yang penampilannya sedikit gondrong dan sangar.

     Selanjutnya...

     "Mmm... Bang, maaf, boleh ga aku tau primadona di komplek itu?" tanyaku hati-hati.
     "Doyan juga sama yang gitu-gituan?" jawab Rebok diiringi nyengir kuda.
     "Laki-laki normal, ya jelas doyan dong, bang. Hehehe..."

     Jones lalu menceritakannya. Aku mendengarkannya sambil manggut-manggut. Aku benar-benar mendapatkan suatu jalan dari informasi Rebok dan Jones itu.

     "Terimakasih, abang berdua..." ucapku hendak pamit.
     "Tunggu dulu..." tahan Rebok.
     "Ada apa, bang?" 
     "Komisi."
     "O itu... Beres, bang."

     Aku keluarkan uang lima puluh ribuan dari dompet, lalu aku berikan kepada mereka berdua. Mereka senang sekali menerimanya sambil tertawa-tawa dan mengacungkan jempol. Kemudian aku pergi dengan aman.

     ***

     Malam baru saja menutupkan kain selimutnya dalam gelap...

     Sesuai rencana, aku sudah siap-siap meluncur ke komplek remang-remang itu, di mana di situ ada bersemayam seorang wanita primadona yang namanya Missy. Aku harus bisa ketemu dia.

     Dengan helm hitam, kacamata hitam, masker hitam, jaket hitam, celana panjang hitam dan sepatu kulit hitam, aku bergerak menyusuri jalan yang tak banyak belok-beloknya. Aku benar-benar fokus untuk segera sampai tujuan.

     Setengah jam kurang lebih, aku sudah merapat di halaman parkir komplek remang-remang itu. Kuambil posisi parkir kendaraan yang aman.

     Bangunan komplek itu berbentuk segi empat. Pintu masuk dan keluarnya hanya satu. Di pintu itu diawasi oleh beberapa orang algojo bertato dan berbadan besar-besar.

     Dari luar, nampak aktivitas di komplek tersebut biasa-biasa saja. Yang terlihat hanya kendaraan-kendaraan berupa mobil dan motor yang parkir dengan tenang.

     Dengan gaya seperti bos besar, aku berjalan memasuki gerbang komplek...

     "Malam semuanya..." sapaku kepada para algojo yang berdiri di kiri-kanan gerbang masuk itu.
     "Silahkan..." balas para algojo itu sambil menganggukkan kepala.

     Di halaman dalam yang berbentuk segi empat itu terdapat kedai-kedai yang menjajakan dagangan berupa: minuman ringan, minuman keras, alat kontrasepsi kondom dan makanan-makanan kemasan lainnya.

     Aku langsung menuju ruang bos mamih yang ada di sebelah kanan dari pintu masuk...

     "Malam, mamih bos..." sapaku sok akrab.
     "Malam juga..." jawab mamih sedikit menatap tajam wajahku.
     "Mau dil sama primadona Missy, mih."
     "Bentar dulu."

     Mamih lalu menelpon seseorang. Tak lama kemudian...

     "Dia baru mandi katanya. Dia di lantai 2 ruang VIP nomer 1. Silahkan..." ujar mamih tak banyak tanya-tanya lagi.
     "Oke, mih..." jawabku langsung menuju target.

     Hanya beberapa menit, aku sudah berada di depan pintu kamar tujuan. Kuketuk beberapa kali daun pintunya...

     "Iya masuk aja..." suara dari dalam.
     "Permisi..." ucapku setelah berada di dalam kamar. 

     Sebagai laki-laki normal, jantungku berdebar lebih keras. Missy hanya mengenakan pakaian dalam semata. Aku berusaha menyadarkan gejolak dalam dadaku. Berkali-kali aku mengucapkan istighfar dalam hati.

    "Tutup dulu deh badannya," pintaku sedikit menekan.
    "Aah, jangan pura-pura, bang. Biasanya kan laki-laki seneng sama yang kayak gini, bang..." ledek Missy dengan gaya genit.
     "Kita ngobrol dulu."
     "Iya deh."

     Missy memakai baju sewajarnya, meskipun masih tetap nampak merangsang.

     Kemudian aku membuka masker, kacamata dan topiku. Sesaat Missy tertegun menatapku. Aku raih kedua pundaknya...

     "Kenapa sih mpok mesti jadi ginian?" tanyaku sambil menatap tajam.
     "Aku..." jawab Missy tersekat.

     Missy menundukkan wajahnya. Tak ada kata-kata dari bibirnya. Aku masih memegang kedua pundaknya. Rasa iba merembes ke dalam hatiku.

      Aku dan Missy lalu duduk di atas dipan sejajar. Ada air mata yang menitik di pipinya.

     "Kok bisa sampe ada di tempat ini mpok?" tanyaku lagi.
     "Sejak abang kamu meninggal dunia, aku kebingungan, terutama buat nutupin kebutuhan tiga anak yang ditinggalkannya itu," ujar Missy sambil menyeka air mata yang mengalir di pipinya.
    "Kan mpok bisa minta tolong sama aku atau saudara-saudara ipar yang lainnya."
     "Setelah abangmu itu meninggal, aku merasa bahwa hubungan kekeluargaan kitab udah putus."
     "Jangan beranggapan seperti itu, mpok. Tiga anak abangku itu adalah tali penyambung persaudaraan kita sampe kapanpun."
     "Sekarang mau gimana lagi...?"
     "Gini aja, mpok masih betah di tempat ini buat ngelayanin para laki-laki hidung belang itu? Sementara dosanya lebih besar daripada duit yang mpok dapatkan!"
     "Aku bingung..."
     "Bingung kenapa?"
     "Kalo keluar dari sini, aku harus membayar dulu hutangku pada bos mamih."
     "Berapa?"
     "Sekitar 5 juta."
     "Ya udah kita beresin sekarang. Kalo bisa sih, sekalian kita bakar tempat ini, biar ga ada lagi laki-laki yang mengumbar nafsu birahinya di sini. Hehehe..."
     "Husss! Ada-ada aja kamu ini."

     Missy segera mengemas pakaiannya. Agar tak menimbulkan kecurigaan, ia tak membawa semua baju-bajunya. 

     Aku dan Missy keluar kamar, berjalan dengan gaya romantis seperti orang yang sedang berkencan. Kami berdua menuju ruangan bos mamih.

     "Halo, mih..." sapa Missy penuh senyum.
     "Mau kemana nih?" tanya mamih.
     "Booking di luar dulu, mih. Ini kakap, mih."
     "Mantep lah! Semoga puas deh..."
     "Ini, mih, aku sekalian mau bayar hutangku."
     "Weh, kakap bener nih! Gitu kalo dapet rezeki!"

     Setelah beres segalanya, aku dan Missy segera meninggalkan komplek remang-remang itu. Jam menunjukkan pukul 10 malam lebih sedikit.

     "Kita isi perut dulu di sini," ujarku mengentikan laju kendaraan. 
     "Iya, aku juga kebelet pipis," balas Missy sambil memegang perutnya.

     Di rest area pinggir metropolitan jalur Pantura itu, aku pesan dua nasi goreng dan minuman.

     Ada dua orang dari kejauhan menatapku berulang-ulang. Mungkinkah mereka berdua mengenali aku? Aku nyaris tak bisa mengenali wajah mereka di keremangan malam, maklum mataku sudah plus 225. Setelah Missy menuju toilet, dua orang itu pergi juga.

     Tak lama hapeku berbunyi. Panggilan masuk dari ustadz Zulkifli...

     "Assalamu'alaikum..."
     "Wa'alaikumussalam..."
     "Lagi ngapain malem-malem gini sama cewek cantik?" tegur ustadz Zulkifli.
     "Aah, ustadz Zul ini sok tau!" candaku.
     "Heh, ustadz Maulana, ngaku aja. Dua informan tadi udah ngasih tau aku."
     "Aku sendirian, tadz."
     "Udah jangan bohong!"
     "Cewek itu lagi ke toilet, jadi aku sekarang duduk sendirian."
     "Udah jangan maen manthiq segala. Yang jelas ente masih berdua sama dia."
     "Hahahah...!"

     Ustadz Zulkifli adalah teman seprofesiku. Aku senang bercanda-canda dengan dia. Dia lebih tua sedikit dari aku. Dia orangnya low profile. Aku menggunakan bahasa bebas saja bila ngobrol dengannya.

     "Ngapain sama cewek itu?" tanya ustadz Zul lagi.
     "Misi penyelamatan, tadz," jawabku serius.
     "Misi penyelamatan apa? Ada-ada aja ente nih!"
     "Gini, tadz. Udah sekitar lima tahun aku ga dengar kabar berita mantan kakak iparku sejak ditinggal mati oleh abangku.  Eh, tau-tau dia berada di lembah hitam."
     "Masya Alloh! Na'udzu billahi min dzalik!"
     "Nah, kebetulan ustadz nelpon, sekarang aku sama dia mau ke rumah ustadz. Soalnya sekarang aku masih bingung mau dibawa kemana dia. Gimana, tadz?"
     "Ya ga apa. Lagian tambah malem nih. Ga baik ente berduaan sama dia di luaran."
     "Syukron, tadz. Nanti ngobrolnya kita lanjut di rumah."

     Missy sudah kembali dari toilet. Setelah ngobrol-ngobrol sambil makan nasi goreng, aku dan Missy menuju rumah ustadz Zulkifli. Perjalanan kurang lebih 40 menit.

      Setibanya di rumah ustadz Zul, Missy dipersilahkan untuk istirahat dan tidur di kamar depan. Kebetulan rumah ustadz Zul ini ada tiga kamar.

     Sementara aku sama ustadz Zul mau ngobrol dulu...

     "Namanya betul Missy dia itu?" tanya ustadz Zul.
     "Nama aslinya Minatun. Missy itu nama viral di komplek itu. Yang katanya sih punya arti ngangenin, gitu."
     "Gimana ceritanya itu sampe ada di tempat remang-remang itu?"
     "Awalnya sih faktor ekonomi..." dan seterusnya aku menceritakannya.
     "Selanjutnya dia mau kemana tuh?"
     "Nah, itu, tadz... Gimana kalo dia sementara jadi pembantu aja di rumah ustadz ini? Bantu mengurus tiga anak ustadz itu, sebagai ganti ibunya yang udah meninggal itu."
     "Waduh, subhanalloh... Pembantu secantik itu bisa menggoyahkan iman."
     "Ya kalo pengen aman, nikahin aja, tadz. Hehehe..."
     ”Alah, bisa aja ente ini!"
     "Menyelamatkan, tadz. Aku kan udah, nah giliran ustadz sekarang."
     "Kenapa ga ente aja sekalian?"
     "Dia itu kan mantan kakak iparku. Jadi aku jengah sama dia, tadz."

     Sejenak ustadz Zul seperti berpikir. Aku berharap beliau ini punya pertimbangan yang condong pada ajakanku. Kemudian beliau membaca ayat Al-Quran dalam surat An-Nur ayat 3:

     "... Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik. Dan diharamkan hal itu atas orang-orang beriman."

     "Betul itu, tadz. Yaitu, bagi perempuan pezina yang belum tobat, memang haram kita nikahi, tadz. Tapi kalo dia udah tobat, maka tidaklah haram," jelasku simpel.

     Ustadz Zul manggut-manggut. Belum ada komentar dari bibirnya.

     "Seperti ini contohnya, tadz," lanjutku. "Perempuan Yahudi atau Nasrani yang baru masuk Islam itu boleh kita nikahi. Seperti Rosululloh dulu menikahi Juwariyah binti Al-Harits dari Yahudi Bani Mustholiq yang baru masuk Islam sesudah perang Bani Mustholiq. Juga beliau menikahi Shofiyah binti Huyayy dari Yahudi Bani Nadhir sesudah Perang Khoibar."
     "Yah, aku tau itu..." komen ustadz Zul masih dengan manggut-manggut.
     "Nah, apa bedanya, tadz, dengan perempuan pezina yang udah tobat itu...?"
     "Iya iya iya... Tapi masalahnya, terlalu tergesa-gesa bagiku. Aku belom kenal dia seperti apa."
     "Dulu sewaktu sama abangku, dia itu perempuan baik-baik. Sekarang gini aja, tadz. Biarin dulu dia jadi pembantu selama satu bulan di rumah ustadz ini. Selama satu bulan itu, ustadz amati deh dirinya baik-baik. Hitung-hitung uji keimanan. Kalo ustadz ga tahan, segera nikahi aja deh, tadz. Di tangan ustadz, insya Alloh, dia jadi lebih baik."
     "Aah, ente mojokin aku terus nih..."
     "Ini misi penyelamatan lho, tadz. Lama banget sih mikirnya. Pahalanya besar nih, tadz. Hehehe..."
     "Iya deh... Uji coba dulu satu bulan."
     "Nah, gitu, tadz. Lega aku mendengarnya."
     "Ente lega, aku nih jadi berdebar-debar!"
     "Demi misi!  Atau demi Missy, tadz?"                "Udah ah bercandanya. Udah larut malem juga nih.
     "Yuklah kita istirahat..."

     Ustadz Zul pergi ke kamar anaknya untuk melihat nyamuk-nyamuk yang menggigit, kemudian ke kamarnya sendiri. Sementara aku cukup berbaring di kursi tamu saja.

     Bismika allohumma ahya wa amut wa yub'atsu insya Alloh...

    ***

     Hampir satu bulan berlalu...

     Alhamdulillah... Belum satu bulan, ustadz Zulkifli sudah menghubungi aku, bahwa dirinya siap untuk menikahi Missy. Alangkah bahagianya aku mendengarnya. Maka, tak perlu lagi ada yang aku khawatirkan perjalanan ke depannya untuk mantan kakak iparku itu. Misi sudah selesai.

     Semoga, perjalanan rumah tangga mereka selalu berada dalam perlindungan dan rahmat Alloh SWT. Aamiin...

    ***                      

Arti kata-kata:
- mpok (Betawi) = kakak 
- jengah (Betawi) = hambar, tidak nafsu
- manthiq (Arab)  = ilmu logika

                     **********end





Friday, July 9, 2021

CERPEN: "MAKASSAR DI PAGI JINGGA"



       "Aduh...!" sungut Ria kaget.

      Semua buku di tangan Ria terjatuh di lantai tanjakan. 

      "Gimana sih kamu jalannya?" lanjut Ria menatap wajah meringis si penabrak.

      "Maaf, ukhti, ga sengaja," jawab pemuda si penabrak menyadari kesalahannya.

      "Basi..."

      "Biar aku aja yang ngambil buku-bukunya."

      "Sudah lah..."

      "Ga apa kok."

      Ria dan pemuda itu nyaris membungkuk bersamaan untuk mengambil beberapa buku yang jatuh berserakan itu.

      Beberapa saat kemudian...

      "Aku Rifana," ujar pemuda itu memperkenalkan dirinya sambil menempelkan telapak tangan di dada sebelah kanan.

       "Ria," balas Ria dengan sedikit mengangkat tangan kanannya.

       Nampaknya mereka saling mengerti bahwa tidak boleh bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.

      "Tinggal di mana?" tanya Rifana selanjutnya.

      "Apa perlu tau?" jawab Ria sedikit kesal.

      "Yaa... Kita kan kuliah satu kampus, siapa tau bisa saling bantu..."

      "Aku di kosan belakang ATM center."

     "O di situ. Aku tau..."

      "Hmm..."

       Selanjutnya tak ada pembicaraan. Mereka berjalan searah menuju kelas masing-masing.

      ***

      Nuuut...!

      Sampai tiga kali panggilan, Ria baru mengangkat teleponnya. Kadang dia enggan mengangkat panggilan yang tak dikenal...

      "Assalamu'alaikum..." suara laki-laki.

      "Wa'alaikumussalam..." jawab Ria agak malas.

      "Ria ya?"

      "Siapa dulu kamu? Di mana?"

      "Rifana."

      "Hei, dari mana kamu tau nomer aku?"

      "Dari pamanku."

      "Pamanmu yang mana? Aku ga kenal!"

      "Pemilik kosanmu itu."

      "Oo... Itu milik pamanmu. Baru tau aku."

      "Ya udah. Btw, kamu lagi ngapain nih?"


      "Lagi mikir masa depan. Mau jadi apa nantinya."

      "Hidup ini kan untuk ibadah. Lainnya itu hanya bumbu-bumbunya aja, agar hidup ga terasa bosan."

      "Iyee... Tapi kan kita juga harus sukses di masa depan."

      "Ya haruslah... Nah, paculah terus semangat untuk mengejar kesuksesan di masa depan itu!"

      "Ah, kamu kayak motivator aja."

      "Ya gitulah dikit-dikit. Sesama teman kan kita harus saling mendukung. Hehe..."

      "Eh, Fana, aku jadi pengen beli buku motivasi nih..."

      "Ga usah beli, Ri. Nanti aku kasih. Gratis!"

      "Serius nih?"

      "Iya lah..."

      Rifana kemudian menyudahi obrolannya. Rasanya sudah cukup puas bisa ngobrol dengan Ria. Semula ia menyangka kalau Ria itu orangnya ketus dan tertutup, sebagaimana sewaktu tabrakan di depan kampus dua hari lalu itu. Ternyata, Ria asyik juga diajak ngobrolnya.

      ***

      Matahari belum menampakkan sosok imutnya pagi itu...

      Tapi Ria sudah nampak berlari-lari kecil di sekitar halaman depan kampus tempat kuliahnya. Karena jaraknya sangat dekat dengan tempat tinggalnya. Kira-kira 200 meteran.

      Tanpa disadarinya ada sepasang mata mengawasinya. Tiba-tiba...

      "Assalamu'alaikum..."

      "Wa'alaikumussalam..."

      "Eh, kamu, Fana, bikin kaget aja..." ucap Ria menghentikan lari kecilnya.

      "Kok sendirian aja nih?" ledek Rifana sambil mensejajarkan langkah.

       "Siapa bilang?"

      "Mana orangnya?"

      "Tuh sebelah kiri!"

      Rifana clingak-clinguk mencari-cari. Tak ada orang lain selain dirinya.

      "Maksudnya, sebelum aku datang tadi," jelas Rifana kemudian.

      "Ya jomblo emang sendirian kok!" tegas Ria tanpa tedeng aling-aling.

      "Masa sih di kampus banyak gitu cowok ga ada yang menaksir dan ditaksir sih?"

      "Aku udah bilang sama mereka, bahwa aku datang ke Makassar ini untuk kuliah, bukan untuk cari pacar!"

      "Tapi kemarin aku baca di status WA kamu tertulis... rindu dan mencintaimu dengan caraku sendiri..."

      "Itu teman biasa aja kok..."

      "Mulanya memang teman biasa sih. Lama-lama, bisa jadi teman spesial..."

       "Udah lah ga usah bahas itu."

      Sesaat tak ada kata. Pandangan mereka tertumpu pada kendaraan yang mulai banyak lalu-lalang.

       "Eh, Ri, gimana kalo besok lari paginya kita ke pantai Losari?" ajak Rifana coba-coba.

      "Jauh juga lho," tawar Ria sedikit gamang.

      "Kan olahraga. Nanti aku traktir makan coto Makassar pulangnya."

      "Mmm... Boleh deh."

      "Jamnya seperti tadi pagi ya?"

      "Insya Alloh."

      Jingga pagi sudah hilang, perlahan berganti sinar matahari yang mulai memanas.

      Ada sebias harapan meremang dalam ruang hati mereka berdua. Tentang rasa yang sama. Perjalanan waktu akan menceritakan kisah mereka selanjutnya...

      ***

      Saat pagi bertaburan warna keemasan dan jingga di ufuk timur mayapada...

      "Subhanallah... Luas banget ya," ujar Ria penuh takjub memandang hamparan pantai Losari sambil menarik dalam-dalam udara pagi yang terasa segar.

     "Cukup luar biasa..." timpal Rifana yang juga terpesona oleh pemandangan pantai Losari yang baru bangun dari tidurnya itu.

      "Aku baru pertama kali ke sini," aku Ria diiringi rasa syukur tak terhingga.

      "Kalo aku sih rasanya kira-kira..." ujar Rifana agak tersendat.

      "Sering ke sini?" tanya Ria sambil melirik.

      "Sama, baru pertama kali," jawab Rifana dengan terkekeh.

      "Pret! Kirain sering!" umpat Ria merasa dipermainkan.

      Pantai Losari adalah merupakan icon kebesaran kota Makassar. Hamparan bibir pantainya di-makeup sebegitu rapih penataannya. Mulai dari penempatan pepohonan, tempat duduk santai, alokasi para pedagang, posisi jalanan di pinggir pantai, stand game, tempat peribadatan, lapangan anjungan, hingga penempatan huruf-huruf besar yang bertuliskan: PANTAI LOSARI (sebagai promosi eksistensi kebesaran pantai tersebut).

      Ria dan Rifana beranjak menuju sebuah masjid yang terletak di lepas pantai. Namanya ialah Masjid Amirul Mukminin. Orang banyak menyebutnya sebagai Masjid Terapung, karena letaknya tidak di daratan. Masjid tersebut memiliki dua kubah besar berwarna biru dan dua menara tinggi yang di ujungnya terdapat menara kecil berwarna biru juga. Muatan jamaahnya sekitar 500 orang. Akses jalan menuju masjid itu dua arah, sebelah kiri dan kanan.

      Ria dan Rifana tidak berniat masuk ke dalam masjid itu. Mereka berdua menikmati keindahannya dari tepi pantai yang jaraknya hanya beberapa meter.

      "Lain kali kita coba sholat di dalamnya ya..." ujar Rifana berharap.

      "Kapan?" balas Ria ingin jelas waktunya.

      "Insya Alloh, nanti..."

      "Aamiin..."

      Dari Masjid Amirul Mukminin itu, tadinya mereka berdua ingin menuju ke Masjid 99 Kubah yang letaknya tidak jauh dari situ. Tapi Rifana mengajak Ria ke tepi pantai untuk duduk-duduk santai dulu...

      "Hmm, segarnya..." desis Rifana menghirup udara pantai yang semilir terasa sejuk.

      "Sempurna..." timpal Ria yang merasa kagum dengan harmonisasi antara indahnya pemandangan dengan nyamannya suasana sekitar.

      Setelah hening sejenak...

      "Besok aku akan pulang ke Jawa..." ujar Rifana terasa berat sambil melirik Ria sekilas.

      "Sebenarnya rumah tinggalmu di mana sih?" balas Ria balik bertanya.

      "Ya di Jawa. Di Makassar ini aku hanya sementara aja, sebuat kuliah gitu."

      "Besok kuliahmu gimana?"

      "Kuliahku udah selesai. Aku ke sini hanya untuk membereskan administrasi yang belum selesai."

      "Mmm..."

      Sesaat Ria tak ada selera untuk berkata-kata. Pandangannya dilepas ke luasnya hamparan pantai. Perlahan ada bayangan kehilangan mengawan di ruang batinnya. Pertemuan beberapa kali dengan Rifana itu tanpa disadarinya telah menumbuhkan sesuatu rasa yang tak bisa dilogikakannya, meskipun ia sudah komitmen bahwa kedatangannya ke Makassar ini bukan untuk mencari pacar. Tapi manalah ia tahu, kalau cinta itu datang menyelinap bagai sang pencuri di malam hari, tanpa permisi dan mengetuk pintu.

      "Tapi nanti aku ke sini lagi kok, untuk menyampaikan sebuah titipan..." ucap Rifana membuat Ria bangkit responnya.

      "O yah. Titipan apa, dari siapa, untuk siapa?" tanya Ria jadi penasaran.

      "Emangnya kamu pengen tau?"

      "Ga banget sih..."

      "Titipan bunga."

      "Cuma bunga? Sebegitu pentingnyakah?"

      "Bunga spesial!"

      "Spesial apanya?"

      "Bunga dari Jawa. Lain dari yang lain..."

      "Di Makassar ini banyak kok macam-macam bunga."

      "Bunga yang kubawa itu ga ada di Makassar ini."

      "Terserah deh..."

      "Oke, nanti aku jelaskan di WA aja ya, supaya kamu bisa mengulang-ulang bacanya."

      Tak terasa, warna pagi sudah hilang di langit. Matahari nyaris berada di titik 90 derajat.

      Ria dan Rifana segera meninggalkan pantai Losari. Berharap mereka berdua bisa berkunjung lagi lain waktu, agar makin berwarna cerita hidup ini.

      ***

      Sehari sudah lewat. Tapi tak ada WA dari Rifana. Hingga bertemu lagi dengan warna pagi seperti yang kemarin...

     Pagi itu, Ria nampak tak seenerjik pagi kemarin. Terasa ada yang hampa di ruang dadanya. Sepertinya memang sang pencuri itu telah mengobok-obok suasana hatinya. Dan tiba-tiba...

      "Assalamu'alaikum..." suara dari sebelah.

      "Wa'alaikumussalam..." balas Ria mendadak ceria. "Belum siap-siap mau berangkat ke Jawa?"

      "Dibatalin dulu," jawab Rifana.

      "Kenapa?"

      "Keberangkatan pesawatnya ditunda."

      Ada rasa bahagia dalam hati Ria. Dengan demikian, ia masih bisa bertemu dengan Rifana. Entah kenapa...

      "Nah, ini bunga titipannya..." ucap Rifana sambil memperlihatkan setangkai bunga merah.

      "Untuk siapa?"

      "Untuk dirimu."

      "Aku ga mau punya pacar dulu."

      "Itu kan di bibirmu, lain dengan yang di hatimu..."

      "Sok tau ah..."

      Jujur, Ria tak bisa membohongi perasaan dalam hatinya. Pencuri itu benar-benar telah mengambil apa yang ada dalam isi dadanya itu. Ia pun jatuh, tak bisa menahannya. Jatuh cinta!

       Rifana tak perlu lagi meminta agar Ria membalasnya langsung. Cukup melihat senyum Ria dihiasi dua lesung pipinya yang mengembang dan nyaman berada di sampingnya, itu sudah membuktikan bahwa Ria berkenan menerima kehadirannya. Hingga waktu membawanya ke titik yang lebih serius lagi.

      Pagi jingga itu menjadi saksi dua hati merapat dalam satu rasa yang sama. Dan Masjid Kubah 99 sedang menunggu kehadiran mereka berdua di Pantai Losari, City Of Makassar...


                             **********end