Saturday, December 29, 2018

8 ASHNAF MUSTAHIQ ZAKAT


8 PIHAK YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT
DALAM KONTEK ZAMAN MODERN



PEMBUKAAN

Zakat adalah merupakan bagian dari infaq, yakni mengeluarkan (membelanjakan) sekian persen (yang sudah ditentukan) dari harta yang kita miliki. Sebagaimana firman Alloh:

“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghoib, menidirikan sholat, dan menginfaqkan dari rezeki yang diberikan kepada mereka.” (QS. Al-Baqoroh: 3).

Yang mana kemudian, infaq berupa zakat itu prosesinya harus diambil (diminta, didatangi ke tempat objek zakat), sesuai firman Alloh:

“Ambillah zakat dari harta mereka, yakni untuk membersihkan (harta) dan mensucikan (jiwa) mereka dengan zakat itu. Dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu memberikan ketenangan kepada mereka. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103).

Adapun orang yang mengeluarkan zakat disebut sebagai muzzaki, dan orang yang menerima zakat disebut sebagai mustahiq. 


  •   


TUJUAN ZAKAT

Adapun tujuan inti dari zakat ialah untuk membersihkan harta (dari hak-hak orang lain yang bercampur di dalamnya) dan mensucikan jiwa (dari sifat-sifat: tamak, rakus, serakah, egois, kikir dan tak mau peduli dengan orang lain), sebagaimana sudah dijelaskan dalam QS. At-Taubah: 103 itu.

Adapun tujuan-tujuan lain yang mengiringi zakat yang berkaitan dengan interaksi kehidupan di antaranya ialah:
·         Agar tidak ada jurang pemisah di antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin.
·         Agar tidak ada kecemburuan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
·         Agar tidak hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati fasilitas-fasilitas yang enak dalam perjalanan hidup ini.
·         Agar terhindar dari pinjaman-pinjaman yang berbunga (riba).
·         Agar membantu menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan kehidupan di tengah-tengah umat.

“... Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di kalangan kamu...” (QS. Al-Hasyr: 7).

“Alloh menghancurkan riba dan mengembangkan sedekah, dan Alloh tidak mencintai orang-orang kafir lagi berdosa.” (QS. Al-Baqoroh: 276).


  •    


TENTANG  8  A S H N A F  MUSTAHIQ ZAKAT

Ketentuan 8 ashnaf mustahiq zakat yang sudah baku operasionalnya ialah berdasarkan firman Alloh ini:

“Sesungguhnya zakat itu adalah untuk (1) orang-orang faqir, (2) orang miskin, (3) ‘amil zakat, (4) orang mu’allaf, (5) budak sahaya (ar-riqob), (6) orang yang berhutang (al-ghorim), (7) orang di jalan Alloh (fii sabilillah), (8) dan ibnu sabil. (Itulah) ketetapan dari Alloh. Dan Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60).

Mari ikuti pembahasan sederhananya satu per satu sebagai materi “pembuka”di bawah ini...
           

  •    



ASHNAF  KESATU:  A L – F A Q I R

Al-Faqir ialah yang membutuhkan atau berkehendak terhadap sesuatu yang berguna bagi hidupnya, sementara ia dalam keadaan payah atau tak berdaya, lalu ia meminta kepada pihak yang bisa memenuhinya, sebagaimana firman Alloh ini:

“Maka dia (Musa) memberi minum (ternak-ternak) kedua perempuan itu, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh, lalu berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku kepada sesuatu yang Engkau turunkan kepadaku berupa kebaikan (makanan) sangat membutuhkan (faqir)’.” (QS. Al-Qoshosh: 24).

Secara bahasa, faqir artinya menggali. Pada umumnya, yang digali itu ialah tanah. Dalam hal ini, tentu ada yang dicari, seperti: air, logam atau benda-benda lainnya yang berguna untuk menutupi kebutuhan hidup ini.

Maka, selama orang yang berusaha atau menggali tanah itu belum bisa menutupi kebutuhan hidupnya, berartia ia termasuk orang yang faqir, yang berhak mendapatkan bagian zakat.

Untuk menambah lebih detilnya, makna faqir ialah “sudah berusaha tapi belum bisa menutupi kebutuhan”.


  •    


ASHNAF  KEDUA:  A L – M A S A K I N

Al-masakin (miskin) ialah orang yang menahan (diri). Pemahaman lebih luasnya, ialah orang yang menahan diri dari sesuatu yang diingininya karena ia tidak memiliki kecukupan kemampuan untuk bisa mendapatkannya.

Ada 2 (dua) kriteria miskin berdasarkan firman Alloh ini:

“Dan orang-orang yang di dalam harta mereka ada kepemilikan yang sudah diketahui (secara umum). (Yakni) bagi orang (miskin) yang meminta dan (bagi orang miskin) yang mengharamkan (dirinya tidak mau meminta).” (QS. Al-Ma’arij: 24-25).

1.      Orang miskin yang meminta (as-saa’il), ialah orang miskin yang memperlihatkan kebutuhannya kepada orang lain dengan harapan mendapat pemberian dari orang lain itu. Bahkan saat ini banyak orang-orang yang memanfaatkan kemiskinannya dengan berkeliling kesana-kemari meminta-minta kepada orang lain. Parahnya lagi, kemiskinan dijadikan sebagai profesi untuk mencari nafkah sehari-hari. Hal ini sudah di luar batas kewajaran sebagai orang miskin!

NB:
Terlalu memperlihatkan kebutuhan-kebutuhan sebagai orang miskin, maka kesannya seperti orang yang tidak punya keinginan untuk merubah diri dan keluar dari lingkaran kemiskinan, yang akhirnya bisa menimbulkan anggapan bahwa status kemiskinan “diperdagangkan” atau dijadikan profesi untuk mendapatkan belas kasihan atau bantuan orang lain.
2.      Orang miskin yang tidak meminta (al-mahruum), ialah orang miskin yang mengharamkan dirinya untuk meminta-minta. Ia sembunyikan kebutuhan-kebutuhannya kepada orang lain, mungkin karena rasa malu, atau demi menjaga kehormatan dirinya, atau tidak ingin melibatkan orang lain ke dalam kesusahan dirinya.

NB:
Terlalu menyembunyikan kemiskinan agar orang lain tidak banyak tahu, maka akan timbul anggapan bahwa ia tidak butuh pertolongan orang lain, yang akhirnya orang lain pun menjadi sungkan untuk memberikan bantuan yang sebenarnya ia butuhkan untuk menutupi kebutuhan hidupnya.

Maka, kedua jenis orang miskin tersebut berhak mendapatkan bagian zakat. Adapun zakat yang dibutuhkan oleh mereka ialah zakat yang mampu melepaskan mereka dari kemiskinan.

Jadi, zakat itu benar-benar menjadi solusi buat mengatasi kemiskinan, bukan sebagai “hiburan” yang hanya berupa nasi bungkus atau beras yang banyaknya cuma 1 atau 2 liter saja.


  •    

  
ASHNAF  KETIGA:  A L - ‘ A M I L

Amil ialah orang yang bekerja.

Dalam hal zakat, ‘amil ialah orang yang menangani urusan zakat: dari mulai pengumpulannya (dari muzzaki) sampai kepada penyalurannya (kepada mustahiq).

Untuk zaman sekarang, banyak istilah-istilah yang menggantikan posisi kata ‘amil itu, seperti: panitia zakat, badan zakat, lembaga zakat dan yang lain-lainnya, yang tujuannya ialah untuk memudahkan para muzzaki dalam menyalurkan zakat-nya hingga sampai kepada para mustahiq-nya.

Para petugas ‘amil zakat, harus dicermati juga status ekonominya.

Bila ‘amil sebagai orang yang mampu (kaya), maka ia berposisi sebagai orang yang wajib zakat (muzzaki), di samping ia mendapat bagian dari pengumpulan harta zakat.

Dan, bila ‘amil itu sebagai orang yang dhu’afa (miskin, faqir), maka ia tak wajib zakat, melainkan ia sebagai mustahiq (penerima zakat), di samping ia juga mendapat bagian dari pengumpulan harta zakat itu.

Adapun zakat-zakat yang diterima oleh ‘amil ialah berupa: zakat tijaroh (perdagangan), zakat maal (harta, emas, hewan), zakat rikaz (barang temuan), zakat fitrah (pada bulan Romadhon), zakat tumbuh-tumbuhan (sewaktu panen), zakat pendapatan (gaji, bonus), zakat property (komisi) dan zakat-zakat lainnya sesuai perkembangan zaman.

Di samping zakat, ‘amil juga menerima penitipan berupa: sedekah, ‘amal jariyah, dan infaq-infaq lainnya sebagai amal sholeh dari orang-orang yang memiliki kelebihan harta (kaya).

Setelah harta zakat terkumpul, maka ‘amil membaginya menjadi 8 (delapan) bagian, kemudian menyerahkannya kepada 8 ashnaf mustahiq zakat itu (yang di dalamnya termasuk ‘amil). Bagian tiap-tiap ashnaf ialah 1/8 (satu per delapan) dari seluruh harta zakat yang terkumpul. Misalnya harta zakat yang terkumpul itu senilai 8.000.000, maka prosesi alokasinya ialah 8.000.000 : 8 = 1.000.000. Jadi bagian tiap ashnaf ialah 1.000.000.

Ketika harta zakat itu sudah sampai ke tangan para mustahiq-nya secara benar, maka selesailah tugas ‘amil.


  •   


ASHNAF  KEEMPAT:  A L – M U A  L L A F

Al-muallaf ialah orang dijinakkan (hatinya). Yang dimaksud di sini, ialah orang yang merasa jinak (nyaman) atau tertarik pada agama Islam. Dan ketika ia masuk Islam, maka ia disebut muallaf.

“Dan Dia (Alloh) menjinakkan antara hati mereka. Walaupun kamu menginfakkan seluruh (kekayaan) yang ada di bumi, pastilah kamu tidak akan bisa menjinakkan antara hati mereka, akan tetapi Alloh yang menjinakkan antara mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfal: 63).

Pemberian zakat kepada orang yang baru masuk Islam ialah bertujuan agar ia merasakan kebaikan dalam Islam, sehingga ia bisa lebih dekat lagi dengan Islam, yang pada akhirnya keberadaan Islam menjadi benar-benar kokoh dalam dirinya.

Di zaman awal penyebaran Islam di jazirah Arab, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam ketika membagikan harta ghonimah, beliau sengaja melebihkan pemberiannya kepada para muallaf itu, yakni agar hati mereka semakin nyaman dalam Islam.

Dengan merasa jinak (nyaman) dalam Islam, diharapkan para muallaf itu aktif mengkaji ajaran Islam, agar mereka mengerti makna-makna dan tujuan-tujuan ajaran Islam. Nantinya, di samping keyakinan Islam kokoh dalam diri mereka, mereka juga bisa menerangkan Islam kepada orang lain.

Dengan demikian, mereka tidak hanya masuk ke dalam Islam, tapi juga memahami ajarannya. Sehingga, tidak ada modus-modus memanfaatkan status muallaf demi mendapatkan materi lewat bantuan-bantuan atau sumbangan dari orang-orang muslim lain yang sudah lebih dulu berada dalam Islam.


  •    


ASHNAF  KELIMA:  A R – R I Q O B

Ar-Riqob ialah orang budak. Yakni, orang yang berada dalam penguasaan orang lain.

Pada zaman jahiliyah dulu, adanya perbudakan di tanah Arab salah satunya adalah melalui proses jual-beli. Maka, jika si budak itu ingin bebas (merdeka) dari penguasaan majikannya, ia harus menebus dirinya dengan sejumlah pembayaran yang sesuai dengan pembelian majikannya, atau ada orang mampu  lain yang mau membebaskannya. 

Pada zaman setelah Islam turun di jazirah Arab, maka salah satu orang atau pihak yang wajib membebaskan budak, ialah sebagaimana tercantum dalam ayat Al-Quran ini...

Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min yang lain, kecuali karena salah sasaran (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tidak sengaja, maka ia harus membebaskan seorang budak (ar-riqob) yang beriman dan membayar denda yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh itu), kecuali bila mereka (keluarga terbunuh) bersedekah (membebaskan, tidak menuntut)...” (QS. An-Nisa: 92).

Sebagai contoh, Al-Quran menjelaskan tentang perbudakan jauh sebelum zaman Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam...

“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yakni beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya (kepada Yusuf).” (QS. Yusuf: 20).

Adapun untuk zaman sekarang, perbudakan sudah tidak ada lagi di tengah-tengah kehidupan masyarakat umum. Karena, setiap negera di dunia melarang ada jual-beli manusia.

Lalu, apakah ar-riqob (orang budak) dalam ayat 60 surah At-Taubah itu sudah tidak berlaku lagi untuk zaman sekarang?

Tidaklah demikian!

Perbudakan dalam bentuk jual-beli manusia memang sudah tidak ada. Tapi, inti perbudakan dalam bentuknya yang lain masih terus berjalan hingga hari kiamat.

Mari telusuri asal-usul adanya perbudakan...

Faktor utama adanya perbudakan adalah karena faktor ekonomi yang lemah (miskin). Mungkin dia sendiri yang menjual dirinya untuk mendapatkan sejumlah materi, atau dia dijual oleh orang lain sementara dia tidak bisa melawannya.

Nah, berdasarkan faktor utama di atas, maka bisa dilihat kondisi saat ini, bahwa banyak orang-orang yang berada dalam status ekonomi yang lemah, sehingga mereka menjadi sasaran yang empuk untuk diintimidasi, ditindas, dan dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu oleh pihak-pihak yang merasa kuat.

Selain itu, status ekonomi yang lemah, bisa menyeret mereka ke dalam lingkaran permainan para rentenir (lintah darat / tukang riba), dari pada kebutuhan hidup tidak tercukupi. Yang akhirnya, mereka bisa terbelenggu oleh hutang dan bunga yang terus membengkak, hingga mereka tidak lagi mampu untuk melunasinya. Untuk selanjutnya, bisa dibayangkan akibatnya...!

Dengan demikian, itulah jenis perbudakan model baru di zaman modern ini !!!

Oleh karena itu, Al-Quran memberikan konsep agar “menganjurkan memberi makan orang miskin”. Artinya, ialah selalu peduli untuk “menolong orang miskin (ekonomi lemah)”.

“Dan terhadap orang (miskin) yang meminta-minta, maka janganlah kamu mengusirnya.” (QS. Adh-Dhuha: 10).

Sebagai konsekwensi bagi orang-orang yang tidak mau peduli untuk menolong orang miskin (lemah ekonomi), maka mereka dikategorikan sebagai...

  •   Pendusta agama (kadzdzibu bid-diin).

  •   Orang-orang yang celaka meskipun mereka sholat.

  •   Baca QS. Al-Maa’uun: 1-7.


Jadi, konsep membebaskan perbudakan (ar-riqob) untuk zaman kini, ialah menolong orang-orang dhu’afa (lemah), orang-orang miskin (serba kekurangan) dan orang-orang bermasalah yang butuh bantuan agar mereka terbebas dari belenggu-belenggu yang menyulitkan dalam kehidupannya dan agar terhindar dari orang-orang yang ingin memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu.


  •    


ASHNAF  KEENAM:  A L – G H O R I M

Al-Ghorim ialah orang yang memiliki hutang.

Bila orang yang memiliki hutang (ghorim) itu tidak mampu lagi membayarnya (setelah melakukan usaha yang maksimal), maka ia berhak menjadi mustahiq zakat untuk membayar hutangnya itu.

Bagaimana kriteria orang yang memiliki hutang (ghorim) yang layak menjadi mustahiq zakat itu?

Tentunya, tidak semua orang yang punya hutang itu layak jadi mustahiq zakat!

Dalam hal ini ada  d u a  sasaran:

Pertama: Keadaan Si Ghorim
Karena adanya beban hutang, si ghorim tidak mampu lagi menutupi kebutuhan hidup sehari-hari (terutama urusan makan dan minum), maka layaklah ia menjadi mustahiq zakat.

Kedua: Posisi Hutang Si Ghorim
Selain keadaan dirinya sebagai mustahiq zakat, posisi hutangnya pun bisa dibantu dengan dana zakat. Hanya saja, posisi hutangnya itu harus ditelusuri lebih dulu latar-belakangnya: mengapa dan untuk apa menghutang?

Hutang yang bisa dibantu oleh dana zakat ialah hutang yang bersifat darurat (posisi terjepit, emergency) seperti beberapa sebab penting di bawah ini:
·         Karena membiayai orang sakit.
·         Karena kelaparan.
·         Karena kehabaisan bekal (modal).
·         Karena terkena bencana alam (gunung meletus, gempa, banjir dan yang lainnya).
·         Karena peperangan.

Adapun hutang yang didasari oleh kesengajaan (tidak dalam posisi darurat, emergency), seperti: kredit barang (motor, mobil, rumah dan yang lainnya), pinjam modal di bank, dan pinjaman-pinjaman berencana lainnya (yang sifatnya bisa ditunda/ditangguhkan), maka tidaklah bisa dibantu oleh dana zakat untuk pembayarannya. (Sebab, logikanya, jika ingin terbebas dari hutang seperti itu, maka kembalikan saja barang-barang atau pinjaman yang masih ada itu, atau bayar dengan agunan yang berupa tanah, bangunan atau yang lainnya yang menjadi jaminan sewaktu transaksi pinjam-meminjam itu).

Catatan: Selama orang yang punya hutang itu masih mampu membayarnya, maka tidaklah boleh dana zakat menanganinya hingga lunas.

Sebagai dalil acuan dalam masalah si ghorim ini ialah firman Alloh ini:

“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia mendapat kemudahan. Dan jika kamu (si pemberi pinjaman) men-sedekah-kan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh: 180).

Anjuran ber-sedekah (untuk membebaskan orang yang punya hutang) dalam QS. Al-Baqoroh: 180 itu seiring dengan perintah zakat (dalam QS. At-Taubah: 60 & 103) yang juga menggunakan kata “sedekah (shodaqoh)”.

Catatan: Hanya saja masih sangat disayangkan, para ‘amil zakat atau pengumpul-pengumpul zakat lainnya (hingga hari ini) belum memandang dengan serius persoalan si ghorim (pemilik hutang) ini dalam kaitannya dengan operasional dana zakat. Penyebaran dana/harta zakat selalu dikonsentrasikan kepada faqir dan miskin melulu.


  •    


ASHNAF  KETUJUH:  F I I  S A B I L I L L A H

Fii sabilillah ialah di jalan Alloh. Artinya, orang-orang yang berada di jalan Alloh boleh mendapatkan zakat.

Siapa saja dan dalam hal apa ia berada di jalan Alloh?

Intinya, tingkatan tertinggi fii sabilillah itu ialah sebagaimana yang tersimpul dalam hadits di bawah ini...

“Orang yang berjuang demi meninggikan kalimat Alloh, maka ia berada di jalan Alloh (fii sabilillah).” (Al-Hadits).

Di samping itu, masuk juga ke dalam kategori fii sabilillah ialah orang-orang yang...

  •   Membangun sarana ibadah (mesjid, musholla).

  •   Membangun sarana pendidikan (sekolah Islam, majelis Islam).

  •   Lapangan pekerjaan (toko Islam, bisnis Islam).

  •   Dan peluang-peluang lainnya yang diarahkan demi kepentingan menuju jalan Alloh.


Jadi, standar fii sabilillah ialah segala aktifitas yang benar-benar langsung terkait dengan Alloh, yakni: niatnya, prosesnya, tujuannya, kepentingannya, hasilnya dan yang lainnya.

Maka, orang yang aktif fii sabilillah, layaklah ia mendapat bagian dari zakat, apalagi bila ia berada dalam kondisi serba kekurangan.


  •    


ASHNAF KEDELAPAN:  I B N U  S A B I L

Ibnu sabil ialah anak jalan. Artinya, ialah seorang anak yang berada dalam sebuah perjalanan untuk suatu kepentingan yang baik.

Yang termasuk ke dalam ibnu sabil sebagai sebuan acuan sesuai kondisi zaman sekarang di antaranya ialah...

  •   Anak pondokan (pesantren).

  •   Anak terlantar.

  •   Anak hilang.

  •   Anak pengamen.


Yang paling utama ialah anak yang sedang dalam proses pendidikan Islam, baik itu anak yang berada di pondok pesantren atau pun anak di sekolah Islam lainnya.

Dana zakat bukan hanya untuk membantu mereka yang kekurangan bekal, uang makan, uang jajan, uang bayaran atau kekurangan-kekurangan lainnya.

Akan tetapi, zakat menanggung semua biaya-biaya mereka selama proses pendidikan di pondok atau sekolah Islam. Sehingga, proses pendidikan mereka berjalan lancar, tanpa dibebani oleh tuntutan-tuntutan bayaran ini-itu dan segala macam tetek-bengeknya yang membuat konsentrasi mereka terganggu dalam belajar.

Kalau sudah begitu, maka tidak akan ada lagi anak-anak yang keluyuran di jalanan, karena mereka sudah sibuk belajar tanpa beban bayaran itu, alias gratis...!


  •    


K E S I M P U L A N

Tulisan ini hanyalah sebagai “kunci pembuka” untuk membuka jalan menuju pemahaman yang lebih luas lagi.

Penulis sangat menyadari, tulisan ini masih banyak kekurangan-kekurangannya. Oleh karena itu, silahkan tambahkan yang kurang, luruskan yang bengkok, dan kuatkan yang benar agar lebih memperkaya kajiannya tentang masalah 8 ASHNAF ZAKAT ini.

Semoga ada kebaikan dan manfaat dari apa yang sudah penulis sampaikan tersebut.

Wallohu a’lam bish-showab.

*****
NB: Silahkan Konsul dan titipkan zakat dengan menghubungi saya via ruang komentar di bawah artikel dalam blog ini.
Terimakasih 🙏.